TEMPO.CO, Jakarta - Pada Minggu, 23 Agustus 2020, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) di negara itu telah menetapkan terapi darurat pengobatan pasien Covid-19 menggunakan plasma konvalesen. Langkah itu dinilai tepat oleh ahli radiologi Nicole Saphier.
Plasma adalah cairan darah yang tersisa setelah seluruh sel yang terkandung di dalamnya disaring. Cairan itu, asal pasien Covid-19 yang sudah sembuh, disebut mengandung antibodi penting yang memblokir protein lonjakan SARS-CoV-2, vius corona penyebab Covid-19, dan pada akhirnya mencegah replikasi sel dan invasi virus ke jaringan manusia.
"Plasma diambil dari orang-orang yang telah pulih dari Covid-19 dan memiliki antibodi IgG yang bersirkulasi dalam aliran darah mereka," ujar Saphier seperti dikutip Fox News, Senin 24 Agustus 2020.
Menurutnya, orang-orang dalam penelitian yang paling diuntungkan dari pengobatan plasma konvalesen ini adalah mereka yang berusia di atas 80 tahun yang tidak menggunakan ventilator. Dia menyebut penelitian itu dilakukan terhadap lebih dari 30 ribu dari total 70 ribu orang di Amerika yang pernah menerima donor plasma tersebut.
Direktur di Memorial Sloan Kettering (MSK) Monmouth itu juga menyatakan kalau saat ini dia berusaha mengeksplorasi terapi antibodi, antibodi monoklonal (buatan laboratorium) (mAbs) untuk menjelaskan perannya dalam mengobati Covid-19. Saat anak-anak kembali ke sekolah usai libur musim panas--dan wabah masih terjadi, Saphier berharap sudah berhasil membuat kemajuan dalam penelitiannya itu.
"Untuk lebih dari 1 juta orang Amerika yang telah pulih dari Covid-19, mohon pertimbangkan mendonasikan plasma Anda, sehingga pengobatan yang berpotensi menyelamatkan nyawa ini dapat tersedia secara nasional," katanya menambahkan.
Sebelumnya, mantan komisaris FDA Robert Califf mengungkapkan, hanya sedikit bukti kalau plasma darah benar-benar membantu pasien. Menurutnya, baru obat antivirus remdesivir dan obat antiperadangan dexamethasone yang telah teruji menghambat Covid-19 lewat uji klinis.
Satu hal yang pasti, plasma konvalesen dari setiap orang disebutnya tidak sama kandungan atau konsentrasi antibodinya, sehingga memberi tantangan untuk mempelajarinya. Juga para peneliti tidak mungkin mengukur dan menerapkan standar konsentrasi antibodi di setiap sampel.
Baca juga:
Cegukan Gejala Baru Covid-19? Simak yang Terjadi dalam Kasus Ini
Bahkan saat ini, para peneliti di beberapa bagian dunia tidak mampu menguji apakah plasma darah mengandung 'antibodi penetralisir' yang kuat yang bisa mencegah replikasi virus. "Karena untuk mengurainya sangat mahal dan membutuhkan prosedur pemisahan khusus," kata Fazle Chowdhury, spesialis penyakit menular di Bangabandhu Sheikh Mujib Medical University di Dhaka, Bangladesh.
FOX NEWS | MAYO CLINIC