TEMPO.CO, Jakarta - Produsen obat asal Inggris AstraZeneca telah mulai menguji obat Covid-19 berbasis antibodi buatan. Uji ini berbeda dari yang dilakukannya terhadap kandidat vaksin untuk menghadang virus corona penyebab penyakit yang sama.
Obat yang diuji diberi nama AZD7442, merupakan kombinasi dari dua antibodi monoklonal (mAbs). Uji awal terhadap 48 peserta sehat antara usia 18 dan 55 tahun diklaim menunjukkan obat itu aman. Uji saat ini dilakukan dalam skala yang lebih besar.
Pengembangan mAbs dilakukan AstraZeneca menggunakan pendekatan yang sudah diuji oleh sejumlah perusahaan farmasi lain. Antibodi monoklonal (mAbs) meniru antibodi alami yang dihasilkan dalam tubuh untuk melawan infeksi dan bisa disintesis di laboratorium. Teknik ini biasa diterapkan termasuk untuk pengobatan beberapa jenis kanker.
Wakil Presiden Eksekutif Penelitian dan Pengembangan Biofarmasi AstraZeneca, Mene Pangalos, menerangkan, teknik kombinasi antibodi itu digabungkan dengan teknologi AstraZeneca, perpanjangan waktu paruh. "Ini memiliki potensi untuk meningkatkan efikasi dan ketahanan penggunaan, selain mengurangi kemungkinan resistensi virus," kata dia.
Untuk pengembangan alternatif vaksin itu, AstraZeneca menerima dana US$ 23,7 juta dari Pemerintah Amerika Serikat pada Juni lalu. Pemerintahan yang sama pada Minggu, 23 Agustus 2020, juga menetapkan penggunaan plasma konvalesen (plasma donor dari pasien Covid-19 yang sudah sembuh) sebagai terapi darurat sambil menunggu ketersediaan vaksin.
Plasma konvalesen bergabung dengan dua obat darurat lainnya, yakni remdesivir dan dexamethasone, yang telah teruji lewat uji klinis mampu mengurangi peluang kematian pasien Covid-19.
Baca juga:
Selain Vaksin, Pfizer Akan Produksi Obat Covid-19 Remdesivir
Sementara itu, Financial Times melaporkan pada akhir pekan bahwa pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sedang mempertimbangkan persetujuan jalur cepat dari vaksin Covid-19 AstraZeneca. Percepatan yang dimaksud adalah memberikannya sebelum pemilihan presiden November mendatang.
REUTERS | FINANCIAL TIMES