TEMPO.CO, Jakarta - Beberapa waktu lalu, masyarakat sempat dihebohkan dengan berita seorang pria di Hong Kong yang terinfeksi virus corona Covid-19 untuk kedua kalinya.
Diberitakan Tempo, pria tersebut pertama kali terinfeksi Covid-19 pada Maret 2020, dengan gejala ringan meliputi batuk, demam, dan radang tenggorokan. Pada Agustus 2020, pria tersebut kembali dinyatakan terinfeksi Covid-19, namun kali ini tanpa gejala.
Melansir Nature, pada Senin, 7 September 2020, menurut Iwasaki, yang sudah meneliti respons kekebalan terhadap virus SARS-COV-2 di Universitas Yale, New Haven, kasus tersebut merupakan kabar baik karena pada infeksi kedua tidak menimbulkan gejala.
Dengan kata lain, ada indikasi bahwa sistem kekebalan pria tersebut telah merekam virus corona yang pertama kali masuk sehingga bisa segera melakukan perlindungan.
Namun, beberapa hari kemudian, Iwasaki menjadi ragu atas pandangannya tersebut, pasalnya petugas kesehatan di Nevada melaporkan kejadian infeksi kedua kali dengan gejala yang lebih parah. Ada indikasi bahwa sistem kekebalan tubuh pada kasus di Nevada tidak bekerja sebagaimana mestinya. “Kasus Nevada tidak membuat saya bahagia,” ujar Iwasaki.
Perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa di dunia penelitian, khususnya pada kasus pandemi Covid-19. Iwasaki pun memahami dirinya tidak dapat menarik kesimpulan secara langsung tentang respons imun jangka panjang terhadap SARS-COV-2.
Dari kasus infeksi berulang yang sudah terjadi, muncul beberapa hal yang belum bisa dijawab dengan pasti. Melansir Nature, berikut beberapa hal tersebut;
- Kemungkinan infeksi kembali terjadi
Laporan mengenai infeksi ulang virus corona sudah diterbitkan oleh beberapa penelitian, namun pada penelitian baru ini, peneliti mencoba mengungkap bahwa infeksi corona kedua berbeda dengan infeksi yang pertama.
Untuk mengetahuinya, tim peneliti dari Hongkong dan Nevada mengurutkan genom virus dari infeksi pertama dan kedua. Keduanya menemukan bahwa virus pada infeksi pertama dan kedua memiliki banyak perbedaan, dengan kata lain, terdapat dua virus berbeda dalam kedua infeksi tersebut.
Namun, dengan dua contoh kasus tersebut, masih belum jelas seberapa sering infeksi ulang terjadi, terlebih terdapat 26 juta infeksi virus corona yang tercatat di seluruh dunia. Penelitian mengenai seberapa umum infeksi ulang terjadi masih harus dikembangkan untuk mendapat informasi yang lebih akurat. Terlebih beberapa negara tengah mengalami wabah dengan virus corona yang telah bermutasi.
- Tingkat Keparahan
Berbeda dengan Iwasaki, ahli virologi dari Francis Crick Indtitute di London, Jonathan Stove, mengatakan dirinya memiliki keraguan terhadap kurangnya gejala dari infeksi kedua yang dialami pria di Hong Kong. Steve mencatat bahwa tingkat keparahan Covid-19 yang dialami setiap orang sangat bervariasi, bergantung pada variabel dosis awal virus, perbedaan varian virus, dan tingkat kesehatan orang tersebut.
Menurut ahli imunologi dari Universitas Queensland dan Institut Walter and Eliza Hall, Gabrielle Belz, mempelajari memori imunologis yang mempengaruhi gejala selama infeksi juga sangat penting, khususnya untuk pengembangan vaksin. Apabila gejala umum pada infeksi kedua berkurang seperti pada kasus pria di Hong Kong, ada kemungkinan sistem kekebalan merespons infeksi kedua sebagaimana mestinya.
Namun, apabila gejala yang muncul pada infeksi kedua lebih buruk seperti yang terjadi pada kasus di Nevada, ada kemungkinan sistem kekebalan tidak bekerja dengan baik. Misalnya, orang yang pernah terinfeksi Covid-19 bisa jadi memiliki sel kekebalan yang sudah tidak berfungsi baik lagi pada infeksi kedua.
- Dampak terhadap pengembangan vaksin
Spesialis penyakit menular anak di Rumah Sakit Anak di Boston, Richard Malley, mengatakan secara umum, vaksin yang paling mudah dibuat adalah vaksin untuk melawan penyakit di mana infeksi premier mengarah pada kekebalan yang tahan lama, seperti Campak dan Rubella.
Meskipun demikian, bukan berarti vaksin untuk melawan SARS-COV-2 tidak dapat bekerja efektif untuk varian infeksi kedua. Dia menambahkan, beberapa vaksin mungkin memerlukan suntikan penguat untuk menjaga kemampuannya.
“Hal ini seharusnya tidak menyiratkan bahwa vaksin tidak akan dikembangkan, atau kekebalan alami terhadap virus tidak terjadi,” ujar Malley. Namun dia juga tidak menampik dirinya memiliki kekhawatiran bahwa vaksin hanya akan mengurangi gejala selama infeksi kedua, bukan mencegah datangnya infeksi kedua tersebut.
Vaksin memang akan memberikan manfaat, tapi ada kemungkinan orang yang divaksinasi akan menjadi orang tanpa gejala sehingga membahayakan kelompok rentan seperti orang tua.
NATURE | MUHAMMAD AMINULLAH | EZ