Sebagai perbandingan, tsunami Jepang 2011 pernah terjadi 1.142 tahun lalu. Peristiwanya tercatat dalam kitab kuno dan dikenal sebagai tsunami Jogan. Gempa magnitudo 9,5 di Cile pada 1960 yang memicu tsunami raksasa juga pernah terjadi sebelumnya pada 1575.
Namun, Eko menuturkan, perlu menjadi perhatian pula bahwa hasil penelitian mutakhir endapan tsunami di dalam Gua Laut di Aceh ditemukan bahwa selama kurun 7.400 tahun terakhir perulangan tsunami dan gempa itu tidak benar-benar periodik. Dalam satu periode waktu tertentu, tsunami bisa lebih sering terjadi daripada periode lainnya.
"Ini sebuah pesan kuat bahwa masyarakat harus senantiasa siap siaga sepanjang waktu guna menghadapi ancaman gempa dan tsunami," kata Eko lagi.
Eko menegaskan perlu mitigasi bencana dalam menyikapi potensi bencana yang ada di Indonesia. Pengembangan wilayah pesisir selatan Jawa sebagai pusat-pusat perekonomian harus menghitung ulang dan meningkatkan risiko bencana khususnya tsunami.
Dengan demikian, dia mengatakan, pembangunan tetap dapat dilakukan bukan saja berdasarkan asas manfaat namun juga di atas prinsip keberlanjutan. "Bencana selalu berulang, menimbulkan kerugian harta dan jiwa sangat besar," kata Eko.
Dia menuturkan itu semua untuk menanggapi hasil riset tim peneliti yang diketuai Guru Besar bidang Seismologi di Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Widiyantoro yang menemukan potensi gempa besar dari zona seismic gap di laut di selatan Jawa. Melalui pemodelan yang dilakukan, gempa itu bisa membangkitkan tsunami hingga lebih dari 20 meter.
Eko menyatakan tak terkejut dengan temuan itu karena, menurutnya, sudah sering dikemukakan beberapa tahun yang lalu oleh beberapa peneliti. "Bahkan sejak 2008 oleh MacCaffrey tentang potensi gempa dan tsunami di jalur subduksi selatan Jawa," katanya.