TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyatakan mengembangkan sistem peringatan dini gempa hingga H-14. Mereka mengembangkannya dengan cara mendeteksi perbedaan konsentrasi gas radon dan level air tanah yang telah dikenal sebagai anomali alam sebelum terjadinya gempa.
Peringatan dini hingga dua minggu sebelumnya diklaim untuk peristiwa gempa besar dengan kekuatan di atas 6 dalam skala Magnitudo. Kalau gempanya lebih lemah, sistem algoritma yang dikembangkan disebutkan menangkap gejalanya 1-3 hari sebelumnya.
Terhadap klaim tersebut, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, hanya memberi tanggapan singkat. Lewat akun pribadinya di media sosial Twitter, Minggu 29 September 2020, dia hanya menulis, "Bagus jika sudah bisa dan mohon diinfokan kepada kami dan masyarakat, apalagi jika akan ada gempa dengan kekuatan di atas 6,0 kita amati bersama."
Dari unggahannya, Daryono tak berharap untuk gempa yang berkekuatan 5,0 M atau lebih lemah daripada itu. "Karena itu sangat banyak setiap hari."
Seperti diketahui, BMKG selama ini selalu mencantumkan informasi kalau peristiwa gempa, lokasi dan kekuatannya belum bisa diprediksi secara akurat oleh teknologi. Keterangan ini selalu menyertai setiap kali BMKG menyampaikan data kejadian gempa dan meminta masyarakat tidak termakan isu-isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Termasuk terhadap hasil riset terbaru mengenai gempa tsunamigenik dari selatan Jawa yang viralbelakangan ini. Dia menerangkan, kajian ilmiah hanya mampu menentukan potensi magnitudo maksimum gempa megathrust dan skenario terburuk.
Dalam ketidakpastian kapan terjadi gempa, ujar Daryono, yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi. “Dengan menyiapkan langkah-langkah konkret untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa.”
Baca juga:
UGM Bangun Sistem Peringatan Dini Gempa, Bisa Deteksi H-3 dan H-14
Sementara itu, Ketua tim riset Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM, Profesor Sunarno, sistem yang dikembangkannya terdiri dari alat EWS yang tersusun dari sejumlah komponen. Dia menyebut seperti detektor perubahan level air tanah dan gas radon, pengkondisi sinyal, controller, penyimpan data, sumber daya listrik serta memanfaatkan teknologi internet of things (IoT).
Sistem itu diakunya telah mampu memprediksi terjadinya sejumlah gempa. Di antaranya yang terjadi di Bengkulu 5,2 M (28 Agustus 2020), Banten 5,3 M (26 Agustus 2020), Bengkulu 5,1 M (29 Agustus 2020), Aceh 5,0 M (1 September 2020), Pacitan M=5,1 (10 September 2020), Aceh M=5,4 (14 September 2020).
Ada lima stasiun pantau/EWS yang tersebar di DIY yang dalam setiap 5 detik mengirim data ke server melalui IoT. "Jika seandainya terpasang di antara Aceh hingga NTT kita dapat memperkirakan secara lebih baik, yakni dapat memprediksi lokasi lebih tepat atau fokus," katanya.