TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) membantah klaim bahwa gempa sudah bisa diprediksi sekarang ini.
Menurut guru besar ITB yang juga ahli gempa Sri Widiyantoro, di dalam seismologi atau ilmu gempa bumi ada tiga syarat prediksi gempa. “Prediksinya bisa memastikan kapan gempa akan terjadi, posisi di mana koordinat dan kedalamannya, dan besaran magnitudonya berapa,” ujarnya.
Dengan definisi prediksi seperti itu, dinilainya sangat sulit orang atau peneliti meramal kejadian gempa. “Karena itu sampai sekarang belum bisa diprediksi,” katanya pada webinar, Rabu 30 September 2020. Berbeda dengan tsunami yang bisa dibuat beberapa skenario sebanyak ratusan bahkan ribuan model.
Sebelumnya tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) dikabarkan mengembangkan sistem peringatan dini gempa bumi yang mampu mendeteksi dan memberikan peringatan gempa. Sistem ini diklaim bisa memprediksi gempa 1-3 hari sebelumnya dari Sabang hingga Nusa Tenggara Timur.
Menurut ketua tim riset Laboratorium Sistem Sensor dan Telekontrol Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM Sunarno pada Ahad 27 September 2020, alatnya bisa memberi peringatan gempa besar di atas 6 skala Richter sekitar 2 minggu sebelumnya. Indikasi gempa itu berdasarkan perbedaan konsentrasi gas radon dan level air tanah yang merupakan anomali alam sebelum terjadinya gempa.
Teorinya apabila akan terjadi gempa di lempengan, akan muncul fenomena paparan gas radon alam dari tanah yang meningkat secara signifikan. Demikian juga permukaan air tanah naik turun. Menurut Endra Gunawan dari Kelompok Riset Geofisika Global ITB, usaha prediksi gempa dengan gas radon sudah dilakukan peneliti di luar negeri sejak 1970-1990-an.
Hingga 2000-an, katanya, ada peneliti yang menyampaikan penggunaan gas radon untuk prediksi gempa hasilnya ambigu. “Tidak bisa mendefinisikan dengan jelas tiga hal utama dalam prediksi gempa, itu tidak tercapai,” ujarnya.
ANWAR SISWADI