Akibatnya, pesawat menuju landasan lebih cepat tanpa ancang-ancang yang cukup. Itu diperparah dengan kecepatan pesawat yang masih dalam mode speed hold atau auto pilot--fitur untuk mempertahankan kecepatan minimum pesawat saat terbang. Seharusnya pilot mematikan mode auto itu sebelum persiapan mendarat agar bisa mengurangi kecepatan.
Tapi yang terjadi saat itu jet tempur masih melesat dengan kecepatan 202 KCAS atau setara dengan sekitar 373 km per jam. Bandingkan dengan maksimum kecepatan yang sebaiknya dilakukan untuk pendaratan yang aman yakni 152 KCAS.
Kekacauan berikutnya lalu terjadi. Sistem komputer menyadari pesawat akan mendarat, memerintahkan hidung pesawat untuk menukik. Sebaliknya dengan si pilot, menyadari harus terbang memutar lagi, memerintahkannya mendongak.
"Pilot nahas mengalami pesawat berosilasi dan memantul dalam percobaan pendaratannya itu, dan mencoba selama lima detik untuk mengendalikan pesawatnya." Tak berhasil, dan menganggap tak dapat respons dari sistem komputer pesawat, ia merasa harus meninggalkan pesawatnya sesegera mungkin dengan menekan kursi pelontar.
Pilot ujicoba Angkatan Laut Amerika Serikat tertawa setelah berhasil mendaratkan pesawat tempur F-35C Joint Strike Fighter di atas kapal induk Nimitz di perairan California, 4 November 2014. REUTERS/Mike Blake
Pilot berhasil selamat dan pesawatnya yang senilai US$ 175 juta atau sekitar Rp 2,5 triliun itu menyeruduk landasan, berguling beberapa kali, dan terbakar.
Baca juga:
Jet Rafale Tembus Kecepatan Suara, Dentumannya Kejutkan Warga Paris
Dalam laporan itu, Angkatan Udara AS menduga pilot tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai panduan bagaimana sistem komputer merepons pilot dan memberi masukan untuk menjaga pesawat tetap terbang. Ada pula faktor kelelahan sang pilot F-35 dalam menjalani latihan terbang.
MUHAMMAD AMINULLAH | ZW | POPULAR MECHANICS | THE DRIVE | DEFENSE WORLD