TEMPO.CO, Jakarta - Pandemi Covid-19 telah memaksa sebagian besar masyarakat beraktivitas dari rumah. Rasa bosan lalu menjadi musuh utama mereka dan kerap diatasi dengan berselancar di dunia maya dan media sosial via smartphone, termasuk bermain game online.
Hyper-Casual Gaming dari Adjust melaporkan pengunduhan aplikasi game seluler pada akhir Maret 2020 saja--beberapa pekan setelah status pandemi ditetapkan--sudah mengalami peningkatan sebesar 75 persen dibanding akhir Maret 2019. Selain itu, waktu bermain para pengguna game online juga mengalami peningkatan sebesar 47 persen.
Di tanah air, pemandangan anak-anak yang terpaku dengan gawainya juga jamak terlihat dan bikin resah orang tua. Tapi mereka kerap tak punya pilihan karena butuh 'teman' pengganti untuk membunuh waktu--di luar jam belajar yang juga online.
Para orang tua pantas resah karena di balik meningkatnya aktivitas game online itu, ada ancaman yang mengintai bernama Gaming Disorder yang bisa mempengaruhi kesehatan psikis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendaftarkan kondisi ini ke dalam daftar klasifikasi penyakit internasional (ICD) edisi ke-11 sejak pertengahan 2018 lalu.
Beberapa kasus kematian yang berhubungan dengan game online bahkan telah beberapa kali dilaporkan. Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun di India, misalnya, mengakhiri hidupnya sendiri setelah sang ayah memintanya berhenti bermain game berjenis Battle Royale pada Juli lalu.
Kasus game online maut juga dicatat di negara yang merupakan pasar smartphone kedua terbesar di dunia itu pada Januari lalu. Seorang pria berusia 25 tahun meninggal akibat stroke otak setelah bermain game berhari-hari.
Baca juga:
Game Fortnite Akibatkan Ratusan Perceraian di Inggris
Meskipun demikian, tidak mudah mendiagnosis seseorang mengidap Gaming Disorder. Menurut WHO, seseorang harus menunjukkan beberapa gejala yeng mempengaruhi fungsi pribadi, sosial, pendidikan, pekerjaan, dan hal lainnya. Gangguan tersebut juga harus terlihat sekurang-kurangnya selama 12 bulan.