TEMPO.CO, Jakarta - Para ahli dari University College London melaporkan adanya gangguan pendengaran pada pasien Covid-19. Pasien pria berusia 45 tahun itu mengalami gangguan pendengaran satu minggu setelah menjalani perawatan intensif Covid-19.
Berdasarkan laporan berjudul Sudden Irreversible Hearing Loss Post Covid-19, yang diterbitkan MBJ Journals, Selasa, 13 Oktober 2020, pria itu menghabiskan 30 hari di ICU dengan ventilator karena kesulitan bernapas. Selain itu, dia juga mendapat remdesivir, obat antivirus, steroid intravena, dan pertukaran plasma.
Seminggu setelah pria itu meninggalkan rumah sakit, dia merasakan telinga kirinya berdenging yang dengan cepat berubah menjadi gangguan pendengaran total. Padahal pria ini tidak memiliki riwayat gangguan pendengaran sebelumnya. Setelah diperiksa, dokter juga tidak menemukan adanya penyumbatan atau pembengkakan yang bisa menyebabkan masalah tersebut.
Hasil tes lanjutan mengungkapkan pria itu mengalami gangguan pendengaran sensorineural di telinga kirinya. Sensorineural sendiri merupakan situasi di mana telinga bagian dalam atau saraf yang mengatur bunyi mengalami kerusakan.
Penelitian tentang hubungan Covid-19 dan gangguan pendengaran sensorineural sendiri masih rendah, sehingga belum ada kepastian mengenai penyebab pasti gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh Covid-19.
Para ilmuwan menduga SARS-CoV-2 telah masuk ke telinga bagian tengah pria tersebut. SARS-CoV-2 sendiri diyakini menginfeksi dengan mengikat reseptor ACE-2 yang terdapat di sel tertentu. Para peneliti menemukan ada sel yang sama yang melapisi telinga bagian tengah. Selain itu, ada juga kemungkinan virus SARS-CoV-2 telah menyebabkan inflamasi dan peningkatan sitokin yang terlibat pada gangguan sensorineural persisten.
Kasus ini sendiri merupakan kasus pertama gangguan pendengaran sensorineural setelah infeksi Covid-19 yang dilaporkan di Inggris. Para peneliti mengimbau pada para dokter yang merawat pasien Covid-19 agar waspada terhadap tanda-tanda gangguan pendengaran pada pasiennya. Jika tidak segera ditangani bisa menjadi gangguan permanen.
“Mengingat keberadaan virus yang tersebar luas dan morbiditas yang signifikan dari gangguan pendengaran, penting untuk menyelidiki hal ini lebih lanjut,” tulis para peneliti di laporannya.
MUHAMMAD AMINULLAH