Beberapa akun yang di-suspend itu diketahui dipantau media di Rusia--negara yang pernah dituding 'bermain' di media sosial saat pilpres empat tahun lalu yang mengantar Trump jadi presiden. Unggahan dari SVNewsAlerts maupun Faytuks, yang hanya memiliki 11.000 pengikut di media sosial itu, teramati peneliti Chris Scot dan dikonfirmasi Reuters, selalu mendapat penekanan di Sputnik--media yang dikontrol Kremlin.
Meski sudah ada tindakan di platform media sosial, laporan-laporan palsu atau tak sesuai fakta mengenai kecurangan dan penundaan voting berseliweran sepanjang hari. Beberapa mendapat penguatan dari akun-akun tokoh Partai Republik dan publikasi media online.
FBI dan Kejaksaan Agung New York juga mengatakan sedang menyelidiki ujaran-ujaran dari bot misterius yang menyerukan orang-orang untuk tinggal di rumah saja. Seruan viral di negara-negara bagian yang ketat persaingan antara Trump dan pesaingnya, Joe Biden.
Alex Stamos, eks kepala bidang teknologi di Facebook dan kini direktur di Stanford Internet Observatory, mengatakan ada upaya terkoordinasi untuk secara sengaja membesar-besarkan beberapa problem. Menurut pendukung gerakan Election Integrity Partnership ini, proses demokrasi memang tak mungkin mulus seratus persen.
Contoh yang dimaksud Stamos adalah bagaimana video dibagikan di antara para pemilih konservatif yang menunjukkan seorang pengawas dari kubu Trump yang ditolak di sebuah tempat pemungutan suara. Video yang di antaranya disebarluaskan oleh putra Trump itu telah ditonton 2,5 juta kali di Twitter.
Baca juga:
5 Pertanyaan Besar dari Pengobatan Covid-19 Presiden Trump
Otoritas di Philadelphia telah menginvestigasi dan menyimpulkan pria itu telah keliru dilarang mendekat menggunakan undang-undang yang telah kedaluarsa. Pria itu belakangan diizinkan untuk memasuki tempat pemungutan suara itu.
REUTERS