TEMPO.CO, Jakarta - Laporan terbaru dari Kaspersky untuk sistem otomasi industri menunjukkan bahwa Asia dan Afrika adalah kawasan yang paling tidak aman secara global selama enam bulan pertama tahun 2020.
Kawasan Asia memperoleh empat dari lima posisi teratas sebagai wilayah berdasarkan persentase komputer sistem kontrol industri (ICS) yang hampir terinfeksi pada paruh pertama tahun ini.
Asia Tenggara mencatat persentase tertinggi, bahkan memimpin dalam beberapa peringkat, yaitu persentase komputer ICS dengan aktivitas berbahaya diblokir (49,8 persen), persentase komputer ICS dengan ancaman internet diblokir (14,9 persen), dan persentase komputer ICS di mana tempat lampiran email berbahaya diblokir (5,8 persen)
Afrika berada di urutan kedua sementara Asia Tengah, Timur, dan Selatan mengikuti di tempat ketiga, keempat, dan kelima.
Dalam hal ransomware, wilayah di Asia masih memimpin dengan margin yang mencolok di peringkat regional. Lebih dari separuh negara dalam peringkat 15 teratas berasal dari Asia Pasifik.
“Tidak mengherankan bahwa komputer ICS di Asia Pasifik dihadapkan pada ancaman dunia maya dengan jumlah tertinggi, karena kawasan ini sedang dalam proses membangun masa depan yang berpusat pada pelanggan atau konsumen," ujar Stephan Neumeier, Managing Director untuk Asia Pasifik di Kaspersky, dalam acara webinar bersama media, Rabu, 4 November 2020.
Neumeier mengatakan sistem cerdas dan produksi otomatis membutuhkan pertahanan mendalam dan cerdas untuk menggagalkan upaya berbahaya, yang mungkin melewati dari dunia maya ke dunia fisik.
“Untuk menghindari keadaan yang genting, diperlukan pendekatan desain yang aman. Kekebalan siber terhadap serangan harus tertanam dalam struktur sistem industri saat ini dan di masa depan,” tambahnya.
Contoh penerapan Industri 4.0 yang aman dan menguntungkan telah dilakukan oleh Kaspersky bersama Siemens dalam budidaya ikan terapung cerdas pertama di Singapore Aquaculture Technologies (SAT).
Pertama di Singapura dan diharapkan dapat menghasilkan sebanyak 350 ton ikan setiap tahunnya, fasilitas akuakultur senilai S$4 juta itu disiapkan untuk memenuhi kebutuhan warga Singapura akan ikan berkualitas sembari mengatasi tantangan perubahan iklim yang telah mengakibatkan penurunan populasi ikan.
“Konsumen kini mementingkan orisinalitas makanan mereka, jenis lingkungan asalnya, dan proses panen yang dilakukan sebelum itu dihidangkan di meja makan mereka. Dengan perubahan iklim dan tantangan lingkungan, produksi pangan sekarang harus berkembang dan berkelanjutan. Hal ini memungkinkan jika kami menggunakan teknologi yang tersedia dengan benar,” kata Raimund Klein, Executive Vice President untuk Asia Tenggara di Siemens Digital Industries.
“Dengan menggunakan analitik prediktif canggih yang inovatif seperti pembelajaran mesin dan analitik video, kami membantu SAT untuk memprediksi potensi pertumbuhan biomassa dan mencegah wabah penyakit, sehingga dapat mengurangi risiko kematian ikan. Kami juga membuka jalan untuk budidaya ikan yang terukur, sangat fleksibel, dan terpenting adalah ramah lingkungan di seluruh rantai nilai,” tambahnya.