TEMPO.CO, Yogyakarta - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta membantah spekulasi yang menghubungkan antara cuaca panas dan hawa gerah yang dirasakan banyak warga kota itu dengan aktivitas Gunung Merapi. Seperti diketahui, status Gunung Merapi dinaikkan dari Waspada menjadi Siaga sejak 5 November 2020.
“Tidak ada hubungannya suhu udara Yogya saat ini dengan aktivitas Gunung Merapi,” ujar Kepala BMKG Yogyakarta, Reni Kraningtyas, saat dihubungi Senin 9 November 2020.
Menurut Reni, suhu udara maksimum di Yogyakarta pada November ini memang bisa dirasa lewat cuaca panas atau hawa gerah oleh masyarakat setempat. Dia menyebut kenaikan suhu udara yang terjadi cukup tinggi. “Suhu udara maksimum saat ini berfluktuatif, 30-35 derajat Celcius,” ujar Reni.
Dari analisis BMKG Yogyakarta, kenaikan suhu udara di Yogya bulan November ini karena pengaruh faktor meteorologis. Reni merujuk kepada posisi matahari yang sudah berada di belahan bumi selatan sehingga pulau Jawa sedang menerima intensitas radiasi yang tinggi.
Tercatat suhu udara maksimum pada 6 November lalu adalah 34 derajat Celsius, lalu 7 November sebesar 33 derajat Celsius, pada 8 November 32 derajat Celsius, dan pada 9 November tercatat 31 derajat Celsius.
Faktor meteorologis lain yang berpengaruh adalah kondisi cuaca cerah. Reni menjelaskan beberapa hari terakhir di Yogyakarta tidak terpantau adanya tutupan awan, maka hampir tidak ada yang menghalangi sinar matahari masuk ke bumi. "Ini menyebabkan suhu bumi cepat tinggi dan terasa panas terik."
Baca juga:
Ratusan Startup Lokal di Yogyakarta Jadi Perhatian InnoXjogja 2020
Tempo mencatat, kondisi cuaca panas dan hawa gerah ini dirasakan di Kota Yogyakarta beberapa hari terakhir. Banyak warga bertanya-tanya kerena saat ini sudah memasuki musim hujan. Cuaca panas dan hawa gerah banyak diperbincangkan pada Jumat, atau sehari setelah status baru Gunung Merapi. Spekulasi lalu berkembang yang mengaitkannya dengan aktivitas gunung api itu.