TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Nonot Harsono mengungkapkan bahwa 4G bukan merupakan teknologi baru dalam Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Makna teknologi baru dalam UU Cipta Kerja adalah teknologi yang baru dikembangkan di Indonesia, dalam hal ini 5G.
Sedangkan 4G merupakan teknologi lama sehingga, menurutnya, tidak tepat memperbolehkan berbagi spektrum frekuensi untuk teknologi ini. "Teknologi baru yang dimaksud dalam UU Cipta Kerja adalah jaringan selular 5G atau teknologi setelahnya yang belum sama sekali dibangun di Indonesia," kata Nonot dalam pernyataan resmi, Senin 9 November 2020.
Dia menambahkan penjelasannya bahwa jika nanti ada teknologi 6G, maka itu termasuk dalam teknologi baru. Sedangkan teknologi selular 4G, 4.5G dan 4.75G bukan termasuk dalam teknologi baru karena sudah dipergunakan di Indonesia.
Menurut mantan Komisioner BRTI periode 2009-2011 itu, pemerintah membolehkan 4G berbagi spektrum frekuensi dengan 5G dengan alasan ingin memastikan investasi operator seluler terhadap teknologi baru tetap terjaga dan tidak merugi. Namun, Nonot menilai, jika 4G terpaksa masuk dalam kategori teknologi yang diperbolehkan untuk berbagi spektrum frekuensi, pemerintah perlu menyiapkan peraturan yang jelas dan adil, yang berfokus pada upaya menjaga iklim persaingan yang sehat.
Secara teknis, dia menuturkan, ada kebutuhan yang besar akan frekuensi untuk teknologi 5G. "Minimal 100 MHz untuk dapat merasakan the real 5G," katanya.
Padahal frekuensi yang dimiliki oleh enam operator seluler di Indonesia sangat kecil dan tidak memadai. "True 5G baru bisa dirasakan jika kerja sama penggunaan spektrum frekuensi untuk teknologi baru diperbolehkan," kata Nonot.
Baca juga:
Jaringan 4G Belum Jamah 12 Ribu Desa dan Kelurahan di Indonesia
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika menilai bahwa UU Cipta Kerja--yang saat itu masih menjadi rancangan--dapat mendorong adopsi teknologi jaringan 5G yang infrastrukturnya sedang disiapkan oleh pemerintah karena bisa mengurangi biaya sekitar 40 persen. Efisiensi tersebut diwujudkan dalam bentuk berbagi spektrum (spectrum sharing) dan berbagi infrastruktur pasif.