TEMPO.CO, Jakarta - Facebook mengungkap angka prevalensi ujaran kebencian di platformnya sepanjang kuartal ketiga tahun ini. Disebutkannya bahwa dari setiap 10 ribu penayangan konten sepanjang Juli-September lalu, terdapat 10-11 unggahan di antaranya mengandung ujaran kebencian.
Pada kuartal itu, Facebook juga telah mengambil tindakan terhadap 22,1 juta konten yang dinilai mengandung ujaran kebencian. Facebook mengaku hampir seluruhnya atau 95 persen dilakukannya secara proaktif mengikuti kebijakan yang sudah dibuat di platformnya.
Angka itu hampir setara dengan kuartal sebelumnya di mana Facebook juga telah menindak 22,5 juta konten ujaran kebencian. Perusahaan media sosial tersebut mendefinisikan tindakan yang diambilnya itu dengan menghapus konten, menutupinya dengan peringatan, menonaktifkan akun, atau meneruskannya ke lembaga eksternal.
Kepala Keamanan dan Integritas Facebook, Guy Rosen, dikutip dari Reuters, Jumat 20 November 2020, mengatakan bahwa mulai dari 1 Maret hingga hari penyelenggaraan Pemilu Amerika 3 November lalu, perusahaan tersebut telah menghapus lebih dari 265 ribu konten dari Facebook dan Instagram--platform berbagi foto milik Facebook--di Amerika Serikat. Seluruhnya diidentifikasi melanggar kebijakan campur tangan atau intervensi pemilihnya.
Khusus di Instagram, jumlah unggahan ujaran kebencian dan karenanya menerima tindakan terdata melonjak dari 3,2 juta pada kuartal dua menjadi 6,5 juta pada kuartal tiga. Sedang di Facebook, kebijakan diperketat setelah pada pertengahan tahun lalu, kelompok hak sipil mengorganisir boikot iklan di Facebook yang meluas untuk mencoba menekan perusahaan media sosial itu agar bertindak melawan ujaran kebencian.
Untuk grafis, Facebook mengatakan telah mengambil tindakan terhadap 19,2 juta konten kekerasan dan grafis di kuartal ketiga, naik dari 15 juta di kuartal kedua. Di Instagram, Facebook menindak 4,1 juta konten sejenis, juga naik dari 3,1 juta pada kuartal kedua.
Baca juga:
Pemilu Amerika, Facebook dan Twitter Tutup Sejumlah Akun Buzzer
Awal pekan ini, pendiri Facebook Mark Zuckerberg dan CEO Twitter Jack Dorsey dipuji oleh Kongres AS soal praktik moderasi konten perusahaan mereka, mulai dari tuduhan bias politik oleh Partai Republik hingga keputusan tentang ujaran kekerasan.