TEMPO.CO, Jakarta - Batu meteor dari Tapanuli, Sumatera Utara, dijual seharga Rp 200 juta sedang ramai diberitakan. Batu seberat 1,7 kilogram yang kabarnya dijual lagi oleh kolektornya senilai Rp 1,4 juta per gram itu telah dibenarkan keasliannya sebagai meteorit--bagian dari asteroid atau komet yang mampu menembus atmosfer Bumi.
Konfirmasi sebagai batu meteor diberikan peneliti di Pusat Ilmu Antariksa, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) Rhorom Priyatikanto. “LAPAN sudah mengkonfirmasi bahwa benda tersebut merupakan meteor berdasarkan foto yang beredar beberapa bulan lalu,” ujar dia saat dihubungi, Jumat 20 November 2020.
Sayang, Rhorom mengatakan, LAPAN tak berhasil mendeteksi peristiwa saat meteorit itu jatuh menimpa rumah milik Joshua Hutagalung di Desa Satahi Nauli, Kecamatan Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah. Dia menjelaskan, di sekitar wilayah temuan tidak ada kamera langit yang beroperasi.
Rhorom menyebut batu bagian dari meteor kondrit CM 1-2 yang mengandung sekitar 20 persen besi dan 25 persen silika (seperti kaca/pasir). Kandungan logam mulia atau logam tanahnya sangat kecil pada meteorit yang tersisa setelah terbakar di atmosfer itu.
Rhorom menjelaskan, meteorit atau meteoroid memiliki ukuran diameter 0,1 mm hingga 10 meter. Menurutnya lembaga antariksa dan penerbangan Amerika Serikat NASA dan beberapa observatorium di dunia melakukan pemantauan asteroid dan memprediksi kemungkinann mengarah atau mendekat ke Bumi.
Adapun LAPAN, dia menerangkan, memiliki meteor wind radar yang beroperasi di Agam, Sumatera Barat, dan Garut, Jawa Barat. Wujudnya berupa antena radio dengan kemampuan memancarkan dan menerima sinyal. Ada juga all sky imager di Manado dan Agam terdiri dari kamera digital dengan lensa mata ikan yang dilengkapi filter khusus.
"Fungsi utamanya untuk studi atmosfer atas dan bisa mendeteksi meteor namun bukan untuk memantau meteor jatuh di area yang luas,” kata Rhorom.
Menurut ahli bidang astronomi itu, sulit mengamati dan memprediksi lintasan meteor yang berukuran kecil. NASA, kata dia, punya misi pengamatan meteor menggunakan satelit untuk mengetahui distribusinya, tapi bukan untuk memperkirakan kapan jatuh ke Bumi.
“Tahun ini, LAPAN juga mulai melakukan pengamatan asteroid di Observatorium Nasional di Kupang. Kemampuan ini terus diasah hingga LAPAN bisa mendeteksi asteroid dekat Bumi."
Dia menjelaskan, ada meteor jatuh setiap hari. Sebagian besar habis terbakar di atmosfer, sebagian jatuh ke permukaan Bumi dan lapuk seiring waktu. Sebagian kecil saja yang jatuh di daerah berpenghuni dan ditemukan.
“Potensi bahaya benda jatuh alami seperti meteor terbilang kecil, potensi korban pun hampir nihil,” kata Rhorom.
Baca juga:
LAPAN akan Teliti Eksoplanet dari Observatorium Kupang
Di sisi lain, Rhorom berujar, potensi bahaya asteroid lebih tinggi. Meskipun sangat jarang terjadi tabrakan dengan Bumi, tapi sekali terjadi bisa berarti malapetaka. Yang juga berbahaya adalah potensi kejatuhan sampah antariksa. "Karena bisa mengandung bahan kimia berbahaya atau radioaktif,” katanya menambahkan.