TEMPO.CO, Yogyakarta - Aktivitas Gunung Merapi terus meningkat sejak statusnya dinaikkan dari waspada (level II) menjadi siaga (level III).
Di tengah antisipasi kenaikan status Merapi di masa pandemi Covid-19 itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman masih mendeteksi sejumlah kabar hoax atau kabar bohong sehingga berpotensi membuat kepanikan.
Salah satunya soal desas desus soal skala erupsi Merapi berikutnya yang akan lebih dahsyat dibanding 2010 silam.
"Menyikapi perkembangan aktivitas Gunung Merapi saat ini, masyarakat diharap waspada tapi tetap tenang serta lebih teliti dalam mengakses berita," ujar Kepala Pelaksana Tugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman, Joko Supriyatno, di sela rapat koordinasi penanganan darurat erupsi Merapi di Selasa petang 24 November 2020.
Joko menuturkan kondisi Merapi saat ini tetap berada di level III atau siaga meskipun terjadi sejumlah fenomena guguran dengan cukup intens belakangan. Namun hal itu belum mengubah status Merapi.
"Jangan terpengaruh kabar hoax agar tidak terjadi keresahan terlebih di masa pandemi seperti saat ini”, kata Joko.
Dalam pertemuan itu, Dewi Sri Sayudi, perekayasa ahli Balai Penyelidikan dan Pengamatan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menuturkan memang saat ini dari data pemantauan baik seismik maupun deformasi Merapi masih tinggi dan aktivitas guguran meningkat. "Hal itu menunjukkan dekatnya waktu erupsi," katanya.
Namun, lanjut Dewi, jika terjadi erupsi eksplosif di Merapi kemungkinan tidak sebesar erupsi tahun 2010 lalu.
Hal ini menurut Dewi berdasarkan empat fakta yang bisa menjadi indikator mengukur skala kekuatan erupsi Merapi.
Pertama sampai saat ini tidak terjadi kegempaan dalam. Kedua, proses migrasi magma ke permukaan berlangsung relatif lambat atau pelan. Ketiga, jumlah dan pola kegempaan peningkatan kegempaan serta deformasi EDM bersifat efusif mengikuti pola tahun 2006.
Keempat, banyaknya gempa hembusan menandakan lepasnya gas sehingga mengurangi tekanan jika erupsi.
PRIBADI WICAKSONO