TEMPO.CO, Singaraja - Tim akademisi Undiksha Singaraja, Bali, mengembangkan teknologi pewarnaan kain endek Buleleng menggunakan fiksator nanopasta untuk membangkitkan kerajinan tenunan khas Bali Utara itu. Teknologi fiksator nanopasta anorganik berwujud pasta dengan ukuran partikel nanometer yang terbuat dari campuran silika abu sekam padi, abu vulkanik Gunung Agung, dan tambahan bubuk terusi dan bubuk tunjung.
Teknologi itu diklaim berperan meningkatkan kekuatan ikatan antara molekul zat warna dengan molekul serat dari benang baik katun maupun sutra saat proses pencelupan. Hasilnya, warna yang terikat pada benang menjadi tidak mudah luntur.
Baca juga:
PVMBG Turunkan Status Gunung Agung di Bali jadi Waspada
"Nanopasta ini telah berhasil dikembangkan sejak 2019 meniru komposisi kimia dari lumpur Nunleu yang digunakan masyarakat NTT, lalu tahun ini dikembangkan dari lumpur abu vulkanik Gunung Agung ditambahkan nanosilika sekam padi untuk memperkuat serat sehingga tidak mudah putus saat benang ditenun nantinya," kata Ketua Tim Undiksha, I Wayan Karyasa di Singaraja, Jumat 27 November 2020.
Pengembangan dan aplikasi teknologi itu terangkum dalam program berjudul 'Membangkitkan Kerajinan Tenun Khas Buleleng Melalui Revitalisasi Teknologi Pewarnaan Menggunakan Fiksator Nanopasta Anorganik dan Penguatan Branding Industri Kreatif Ramah Lingkungan. Program ini terpilih di antara program pemberdayaan masyarakat UKM Indonesia Bangkit Tahun 2020 di Kementerian Ristek/Badan Riset dan Inovasi Nasional.
"Program ini dibuat setelah menemukan sejumlah persoalan yang membelit industri tenun endek di Buleleng," katanya, didampingi anggota tim, yakni I Gede Putu Banu Astawa, I Made Ardwi Pradnyana, dan Ni Made Vivi Oviantari.
Menurutnya, industri kreatif berupa tenun masih menjadi sektor unggulan Kabupaten Buleleng, namun akibat pandemi Covid-19, saat ini terbelit sejumlah masalah. Karyasa mencontohkan usaha pertenunan Artha Dharma di Desa Sinabun, Kecamatan Sawan, yang disebutnya terkendala bahan baku benang.
"Terutama benang sutera alam semakin mahal dan sulit diperoleh, namun di pasaran banyak beredar sutera sintetik dengan kualitas hasil tenunan yang kurang baik," kata dia.
Selain itu, pewarnaan masih bergantung dengan warna sintetik. Di sisi lain, harga warna sintetik dan bahan-bahan kimia pendukungnya semakin mahal. Belum lagi limbah pencelupan yang dihasilkan industri ini juga belum mampu terolah secara maksimal, "Sehingga berpotensi mencemari lingkungan."
Aspek kedua, Karyasa menambahkan, berkaitan dengan manajemen usaha. Omzet penjualan produk yang menurun drastis, menyebabkan cash-flow perusahaan memprihatinkan dan berimbas pada pengurangan tenaga kerja. Sedang aspek ketiga, disebutnya, reorientasi dan pengembangan usaha pertenunan sebagai antisipasi penurunan daya beli masyarakat dan pola komsumsi masyarakat yang lebih fokus pada pangan dan kesehatan.
Karyasa menjelaskan, setidaknya tiga aspek itulah yang menggerakkan tim Undiksha untuk melakukan program revitalisasi teknologi pewarnaan kain endek Buleleng dengan fiksator nanopasta. Tim Undiksha juga melakukan pendampingan dalam upaya membangun sistem manajemen usaha terpadu dengan manajemen pemasaran berbasis data digital, mengintensifkan promosi daring dan menguatkan branding produk tenun yang kembali ke alam dan ramah lingkungan.
Baca juga:
Hujan Abu dan Kerikil Erupsi Gunung Ili Ape Hujani Lembata
Menurut Karyasa, tujuan program ini adalah membangkitkan usaha kerajinan tenun khas Buleleng di Desa Sinabun, khususnya Pertenunan Artha Dharma, untuk menjadi daya ungkit peningkatan kesejahteraan para pengusaha dan pengrajin tenun. "Melalui terobosan-terobosan itu, ditargetkan industri tenun Artha Dharma di Sinabun dapat terus bertahan dan produksinya berkelanjutan dan secara lebih luas berharap tenun khas Buleleng dapat terus lestari."