TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah penelitian menunjukkan bahwa penerapan pembatasan wilayah atau lockdown yang terlambat untuk mencegah penyebaran virus corona Covid-19 di Inggris pada Maret 2020 menyebabkan pandemi meningkat lebih cepat dibanding beberapa negara Eropa lainnya yang menerapkan lockdown lebih cepat.
Studi ini dilakukan oleh pakar epidemiologi dan spesialis kesehatan masyarakat dari University of Oxford Christopher Dye.
Dye dan timnya telah mengamati 30 negara dan menilai wabah berdasarkan kematian akibat Covid-19. Dalam data tersebut, para peneliti menemukan waktu rata-rata bagi negara-negara Eropa untuk melakukan lockdown setelah kematian Covid-19 yang pertama dilaporkan sembilan hari, seperti dikutip Daily Mail, Selasa, 1 Desember 2020.
Selama periode waktu ini, pandemi umumnya membengkak sepuluh kali lipat. Namun, berbagai negara melakukan lockdown pada waktu yang berbeda, Polandia memulai pembatasan nasionalnya pada 10 Maret, bahkan sebelum kematian pertama tercatat pada 12 Maret.
Berdasarkan data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC), para peneliti menghitung kematian pertama Covid-19 di Inggris terjadi pada 7 Maret. Namun, baru 16 hari kemudian, 23 Maret, Perdana Menteri Boris Johnson memberi tahu negara itu bahwa penguncian yang ketat akan diberlakukan.
Pada hari itu ada 57 kematian, catat penelitian yang diterbitkan di Royal Society Open Science. Peningkatan ini lebih dari 50 kali lipat dalam ukuran pandemi sejak kematian pertama.
Penelitian ini juga menemukan bahwa negara-negara yang melaporkan lebih sedikit kematian pada umumnya tidak memiliki tingkat penularan dan pertumbuhan pandemi yang secara intrinsik lebih rendah, dan kurva epidemi yang lebih datar. Tapi sebaliknya, negara dengan kematian lebih sedikit yang lockdown lebih cepat memiliki masa pandemi lebih pendek, memuncak lebih cepat, dan populasi yang lebih kecil.
"Akibatnya, karena menganggap enteng lockdown, kami memperkirakan, dan dengan sepatutnya mengamati kebangkitan Covid-19 di seluruh Eropa," tulis penelitian itu.
Para peneliti melihat tiga penjelasan potensial mengapa suatu negara akan mengalami wabah yang lebih kecil relatif terhadap populasinya daripada yang lain. Yang pertama tingkat penularan SARS CoV-2, secara intrinsik lebih rendah di beberapa negara, misalnya, karena individu yang menular dan rentan lebih jarang bersentuhan di populasi yang kurang padat.
Kedua, jumlah infeksi baru menurun dengan cepat karena setelah peningkatan tajam dalam infeksi, kekebalan kawanan dibangun di antara orang-orang yang rentan. "Negara-negara dengan lebih sedikit orang yang terpapar atau rentan terhadap infeksi diperkirakan memiliki pandemi Covid-19 yang lebih kecil dan pendek," kata para peneliti.
Kemungkinan alasan ketiga untuk lebih sedikit kematian adalah bahwa angka infeksi turun karena penegakan protokol kesehatan seperti jaga jarak, mengenakan masker, dan pembatasan perjalanan. Studi tersebut menyimpulkan bahwa kemungkinan ketiga inilah yang memiliki dampak paling signifikan.
Studi tersebut mengamati 30 negara Eropa hingga 31 Juli, setelah gelombang pertama, sebelum gelombang kedua virus corona menyerang. Rata-rata, tumbuh 28 persen setiap hari pada awal pandemi, bertambah dua kali lipat setiap 2,5 hari. Dari kematian pertama, data mengungkapkan, dibutuhkan rata-rata 37 hari untuk mencapai puncak kurva pertumbuhan epidemi.
"Hubungan kuat antara kematian Covid-19 dan waktu lockdown menyiratkan bahwa hanya sebagian kecil penduduk Eropa yang terpapar infeksi pada gelombang pertama," kata para peneliti.
Analisis matematis menunjukkan bahwa, di negara-negara yang melaporkan lebih sedikit kematian, Covid-19 mereka tumbuh dan menurun pada tingkat yang sama dengan negara-negara yang memiliki jumlah kematian lebih besar. Namun, wabah mereka diakhiri lebih cepat.
"Akibatnya, epidemi yang lebih pendek adalah epidemi yang lebih kecil," kata para peneliti.
Dalam penelitian itu yang selesai pada September 2020 lalu itu juga memperkirakan wabah Covid-19 lebih lanjut akan terus mengancam sejumlah besar orang yang rentan di seluruh Eropa.
Mereka menyimpulkan, lockdown memiliki efektivitas yang jelas, dan mendapat hukuman jika tidak melakukannya. "Kami menggarisbawahi dilema utama yang dihadapi negara-negara Eropa, bagaimana mempertahankan efek menguntungkan dari jarak fisik tanpa melakukan lockdown penuh," kata para peneliti.
DAILY MAIL | ECDC | ROYAL SOCIETY OPEN SCIENCE