TEMPO.CO, Yogyakarta - Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mendesak agar penanganan dampak erupsi Gunung Merapi yang statusnya kini siaga lebih terarah dan terkoordinasi dibanding penanganan saat erupsi dahsyat 2010 silam.
Sultan tak mau terulang lagi kesalahan penanganan Merapi saat erupsi satu dasawarsa silam. Menurutnya, saat itu Yogya masih belum siap benar menghadapi dampak erupsi yang terjadi di luar dugaan.
“Saat Merapi erupsi 2010 kita belum punya pengalaman, sekarang kan sudah punya pengalaman, jadi harus lebih baik,” ujar Sultan saat menyambangi Kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Senin, 7 Desember 2020.
Sultan mencontohkan ketidaksiapan Yogya saat erupsi dahsyat 2010 silam karena memperkirakan erupsi Merapi hanya berupa lelehan yang lontaran materialnya saat itu diperkirakan maksimal 5-7 km dari puncak, sehingga radius aman yang dibuat untuk antisipasi penanganan saat itu hanya berdasar analisa tersebut.
“Tapi ternyata 2010 itu Merapi meletus dengan jarak (lontaran material) seperti hujan abu sampai mencapai 10, 12, dan hingga 20 kilometer,” ujar Sultan.
Saat erupsi 2010 itu, ujar Sultan, pemerintah daerah awalnya juga hanya menyiapkan enam tempat penampungan pengungsi karena menilai erupsi hanya sesaat dan dampak jangkauannya pendek. Tak disangka Merapi pada saat itu letusannya berkali-kali, hingga membuat warga berbondong-bondong mengungsi tak hanya di Kabupaten Sleman, tapi sampai ke luar Sleman, seperti Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo.
“Karena (warga Sleman) yang mengungsi saat erupsi 2010 itu sampai Gunungkidul dan Kulon Progo, kami akhirnya juga buka dapur umum di luar Sleman, meskipun saat itu juga ditertawakan, ketog kono ngopo (sampai ke sana kenapa),” ujar Sultan.
Namun, kata Sultan, saat itu fakta di lapangan masyarakat diliputi ketakutan mendalam pada erupsi Merapi di luar prediksi, sehingga juga mempersulit penanganan pemerintah. Saat erupsi 2010 itu total ada 26 dapur umum beroperasi untuk penanganan dampak Merapi. Setiap hari dari pagi, siang, dan malam pemerintah daerah harus mengirim bahan pokok makanan ke 26 dapur umum itu.
“Bagaimana agar masyarakat juga dapat mengatasi rasa takut berlebihan karena Merapi ini juga jadi pengalaman yang tidak bisa kita perhitungkan,” ujarnya.
Sultan menambahkan, dari pertemuan dengan BPPTKG itu bisa memberikan gambaran terkait pengambilan keputusan atas Merapi yang masih berstatus siaga ini. Sultan mengaku juga bisa lebih melihat antisipasi mengenai seberapa jauh kemungkinan dampak yang akan terjadi, apakah Merapi akan meletus, meleleh, dan sebagainya.
Sultan sendiri tidak mempermasalahkan pengungsi Merapi saat ini sesekali menjenguk rumahnya untuk sekedar membersihkan rumah atau memberi makan ternak selama belum ada perubahan status aktivitas Gunung Merapi.
"Itu sebetulnya sudah dari dulu warga naik turun seperti itu terjadi, tidak bisa tidak. Tapi kalau statusnya sudah naik, akan berbeda, tentu dilarang," ujar Sultan.
Kepala BPPTKG Hanik Humaida mengatakan kondisi Gunung Merapi sampai Senin cenderung stabil tinggi dengan data relatif sama sejak naik statusnya pada 5 November 2020
“Seismitasnya masih tinggi, kegempaan masih tinggi, deformasi juga masih belum memendek, penambahan masih 11 cm per hari,” ujarnya.
Hanik menambahkan bahwa sampai saat ini kubah lava baru belum terbentuk, namun perkembangan cracking/retakan di kawah terjadi panjang-panjang.
“Berdasar foto puncak Merapi terakhir yang diambil pada Sabtu, kubah lava yang baru belum terbentuk. Namun kondisi saat itu tertutup awan, sehingga penampakan puncak kurang jelas,” kata Hanik.
Hanik mengatakan yang perlu diwaspadai saat ini adalah deformasi Merapi masih terjadi. Situasi seperti ini diproyeksikan akan berlangsung lama. “Jadi kita tunggu lagi, masih harus sabar, karena aktivitas Merapi masih tinggi,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO