TEMPO.CO, Bandung - Pola letusan Gunung Merapi di perbatasan Yogyakarta sekarang mengalami perubahan. Perbandingannya dengan kejadian erupsi besar Merapi pada 2010. Indikasi perubahan itu muncul ketika erupsi 2018.
Baca:
Gunung Merapi Muntahkan Awan Panas Pertama, Status Belum Awas
Menurut Volkanolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman, saat meletus pada 2010 lalu, Gunung Merapi memiliki pola aktivitas dari mulai pembentukan kubah lava, kemudian terjadi letusan disertai awan panas (wedus gembel), dan diakhiri oleh guguran lava pijar. “Namun sekarang polanya berbeda yang diawali dengan pecahan atau guguran lava,” katanya lewat laman ITB, Kamis 7 Januari 2021.
Guguran lava yang muncul dari Gunung Merapi belakang ini, menurut Mirzam, cenderung kental atau tidak encer. Meskipun begitu, masyarakat diminta tetap berhati-hati karena berdasarkan laporan dari BPPTKG, Badan Geologi, gempa-gempa vulkanik masih sering terjadi.
Menurutnya, kalau yang keluar dari gunung itu hanya aliran lava, harusnya tidak berbahaya. Alasannya karena aliran lava biasanya sedikit sekali memakan korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur. “Karena lava mengalir lambat tidak secepat letusan disertai wedus gembel,” ujar Mirzam.
Namun, situasinya bisa berbeda ketika aliran lava dengan temperatur tinggi tidak mengalir jauh. Kondisi itu perlu diwaspadai, sebab dikhawatirkan menyumbat dan terjadi akumulasi energi dari magma yang belum keluar di bawahnya. “Kita belajar sesuatu yang baru dari Gunung Merapi,” ujarnya.
Indikasi perubahan pola letusan Gunung Merapi muncul pada letusan 2018. Mirzam mengatakan letusan freatik Gunung Merapi yang terjadi pada Kamis dini hari, 24 Mei 2018, itu sudah memasuki tahap vulcanian. "Letusan freatik sudah tidak murni lagi dan menuju magmatik karena ada material pijar yang keluar," ujarnya waktu itu.
Sebelumnya diberitakan, Gunung Merapi dengan status Siaga sejak awal November 2020 memuntahkan awan panasnya yang pertama pada Kamis pagi, 7 Januari 2021, pukul 08.02 WIB. Awan panas berupa guguran dengan tinggi kolom 200 meter itu mengarah ke barat daya atau menuju Kali Krasak. Kepala BPPTKG Badan Geologi Hanik Humaida memperkirakan jarak luncuran awan panas yang kecil itu cukup pendek, yaitu kurang dari satu kilometer.
ANWAR SISWADI