TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan selama ini Indonesia salah menerapkan sistem pemeriksaan atau testing Covid-19. Dia menyebut sebab di balik tingginya jumlah kasus baru setiap harinya padahal jumlah tes untuk screening yang dilaporkan cukup besar.
"Testing, tracing, dan treatment (3T) serta isolasi bagaikan menambal ban bocor. Tapi kita, kan, tidak disiplin. Cara testingnya kita salah," ujar dia dalam kanal YouTube Pikiran Rakyat Media Network Suara Cimahi (PRMN SuCi), 22 Januari 2021.
Baca juga:
Pandemi Covid-19 di Indonesia, 83 Persen Dokter Umum Sudah Burn Out Sedang
Budi menjelaskan selama ini tes untuk screening tersebut dilakukan untuk mereka yang ingin melakukan perjalanan atau keperluan lainnya. Ia pun mencontohkan dirinya yang rutin menjalani tes usap ketika akan bertemu Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dia menyebut bisa lima kali dalam seminggu menjalani tes swab.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran, Panji Fortuna Hadisoemarto, menilai apa yang disampaikan Menkes Budi Gunadi adalah ilustrasi dari tidak meratanya testing yang dilakukan. Artinya, hanya sekelompok orang saja yang sering dilakukan pemeriksaan sampel, seperti pejabat.
“Banyak dikeluhkan kalau masyarakat itu tidak dites, hanya diminta isolasi saja," katanya saat dihubungi, Senin 25 Januari 2021.
Masalahnya, Panji mengungkapkan, jumlah tes juga terbatas. "Ini jadi lingkaran setan, mau mengubah pedoman tapi kapasitas harus ditingkatkan atau mengubah pedoman supaya bisa melakukan tes lebih banyak,” ujar dia menambahkan.
Indonesia, menurut peraih gelar master kesehatan masyarakat di Georgia State University School of Public Health, Amerika Serikat itu, memiliki target tes 1/1000 penduduk per minggu sesuai pedoman dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tapi angka itu merupakan target minimal. Dia berharap agar bisa ditambah misalnya 2/ 1000 atau 3/1000 penduduk per minggu
“Memang harus diperbaiki dengan lebih banyak tes, terutama pada mereka yang kontak dengan yang positif,” kata Panji menuturkan.
Jumlah testing merata, dia menekankan, juga jangan hanya melihat dari lingkup provinsi tapi juga kabupaten atau kota. Karena, kata Panji, tidak semua kabupaten atau kota memiliki fasilitas yang lengkap, termasuk dengan kapasitas mengambil sampel. Dia mencontohkan, Nusa Tenggara Timur, testing-nya rendah karena laboratorium terbatas. Di NTT pula banyak pulau kecil yang sulit terjangkau.
“Ini masih tidak merarta. Jadi jumlah testing jangan terlalu dilihat di provinsinya tapi distribusi di daerah bagaimana,” kata Panji.
Dari dulu, Panji menjelaskan, dirinya dan epidemiolog lainnya selalu meminta agar testing diperbanyak dan merata. Bahkan sampai didapat tingkat positivity rate paling tidak 5 persen (sekarang 30 persen).
Baca juga:
Efikasi Vaksin Sinovac 'Hanya' 65 Persen, Epidemiolog Beberkan Konsekuensinya
“Kita harus memeriksa beberapa kali lipat lebih banyak. Kalau lebih banyak ditemukan bisa dikarantina, bisa di-trace kontaknya, itu bisa membantu mengatasi pandemi Covid-19,” katanya lagi.