TEMPO.CO, Jakarta - Di lebih dari 50 negara, kebanyakan negara kaya, upaya vaksinasi virus corona Covid-19 sudah bergulir. Tapi kebanyakan negara yang lebih miskin belum memulainya, bahkan menerima vaksinnya pun belum.
Badan Kesehatan Dunia, WHO, mengatakan pada pekan lalu kalau Guinea di Afrika Barat adalah satu-satunya dari 29 negara berpendapatan rendah yang memulai vaksinasi Covid-19. Itupun sangat terbatas cakupannya--hanya 55 orang dari 12 juta lebih populasi di negara itu yang sejauh ini telah menerima dosis suntikan vaksin.
Bandingkan dengan sejumlah 20 juta dosis yang telah didistribusikan di Amerika Serikat sendiri, menurut data Bank Dunia per 25 Januari 2021. Atau secara keseluruhan 43,7 juta dosis di 42 negara dengan pendapatan tinggi dan 19,1 juta dosis di 11 negara dengan pendapatan sedang-tinggi. Adapun negara berpendapatan menengah-rendah sudah membagikan 15,8 juta dosis.
Di Guinea, sebanyak 55 dosis vaksin datang dari Rusia, yakni Vaksin Sputnik. Inisiatif itu dimulai pada 30 Desember lalu sebagai bagian dari program pilot yang disebut Direktur Jenderal Badan Keamanan Kesehatan Nasional Guinea, Sakoba Keita, dilaksanakan, "Pada basis eksperimen."
Keita menerangkan, pemerintah Rusia mengusulkannya dalam sebuah, "iklim hubungan bilateral yang baik." Kebanyakan dari 55 dosis itu diperuntukkan bagi para pejabat pemerintahan, termasuk Presiden Alpha Condé, 82 tahun, yang menerima suntikan dosis vaksin itu pada awal Januari.
"Kami bermaksud memulai kampanye sebenarnya pada akhir kuartal tahun ini," kata Keita lagi. Dia menunjuk kepada upaya vaksinasi yang lebih luas, kemungkinan menggunakan Sputnik V dan vaksin Covid-19 dari produsen lain.
Keita mengaku belum bisa memberi tanggal pastinya dengan alasan belum mendapat kepastian suplai batch pertama dari vaksin-vaksin itu. "Semua negosiasi masih berjalan," katanya.
Kesepakatan tak biasa di mana Guinea telah menerima jumlah dosis Sputnik V yang sangat terbatas itu diduga karena kedekatan hubungan Condé dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Kepentingan Rusia di negara dengan produk domestik bruto per kapita kurang dari $ 1.000 per tahun itu terkait dengan penambangan bauksit, komponen utama dalam produksi aluminium.
Lambatnya percepatan vaksinasi di negara-negara berpendapatan rendah seperti Guinea tersebut telah dikecam oleh ahli kesehatan masyarakat di dunia. Mereka mengatakan penguasaan dosis vaksin oleh negara-negara yang lebih kaya bisa malah memperluas pandemi Covid-19.
"Kita kini menghadapi bahaya sebenarnya yang bahkan ketika vaksin telah memberi harapan bagi sebagian. Vaksin menjadi batu bata yang lain pada dinding ketidakadilan antara dunia negara kaya dan miskin," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam keterangannya pekan lalu.
Baca juga:
Kematian ASN DPRD Yogya: Rapid Test Covid-19 Negatif, Paru-paru Putih
Ranu S. Dhillon, seorang ahli penyakit menular di Harvard Medical School mengatakan, membiarkan Covid-19 menyebar luas di negara-negara yang tak mampu menyediakan vaksin bisa menyebabkan lebih banyak varian baru virusnya muncul. Pada akhirnya membuat vaksin yang ada menjadi tidak efektif.