"Tinggal menunggu waktu saja, jenis baru virus Covid-19 akan sampai ke Conakry (ibu kota Guinea), dari Conakry lalu menyebar ke tempat lain, dan akhirnya bersirkulasi di bagian lain dunia."
Thomas J. Bollyky, peneliti senior di Council on Foreign Relations, menyuarakan yang sama. Ketidakadilan vaksin dipastikannya akan memperpanjang masa pandemi, juga menciptakan risiko kesehatan bagi negara-negara kaya. "Seperti yang sudah kita lihat, ini adalah virus. Dia bermutasi," katanya.
Bollyky mengatakan menyaksikan selama beberapa bulan ini bangsa-bangsa yang kaya telah membeli hampir seluruh suplai vaksin Covid-19 yang sudah tersedia. Dia mengatakan tidak terkejut dengan kecenderungan tersebut.
"Dalam setiap pandemi sebelumnya dimana kita mengalami krisis kesehatan global, di mana hanya tersedia intervensi suplai obat-obatan yang terbatas, bangsa-bangsa yang kaya berkuasa," kata dia.
Sekalipun Covax, sebuah inisiatif internasional yang didukung WHO untuk mengumpulkan dan mendistribusikan vaksin di dunia, diharapkan mampu menekan ketidakadilan vaksin, namun upaya ini terbukti tidak mudah. Mereka harus berjuang dengan pendanaan dan mendapati negara-negara kaya telah menyerobot sebagian besar stok vaksin Covid-19 global.
Matshidiso Moeti, Direktur WHO untuk Africa, mengungkap harapannya pada pekan lalu kalau vaksin Covax pertama akan sampai di Afrika pada Maret. Sejauh ini, satu-satunya negara di Afrika yang sudah memulai program vaksinasi secara nasional adalah Seychelles--sebuah negara pulau berpendapatan menengah dan populasi tak sampai 100 ribu orang. Maroko baru memulai yang sama pada pekan ini setelah menjalin kesepakatan mendatangkan 2 juta dosis vaksin AstraZeneca.
Keita sendiri mengatakan kalau Guinea sedang bernegosiasi dengan empat pembuat Vaksin Covid-19 yakni Pfizer, AstraZeneca, Sputnik V dan Sinopharm dari Cina. Negosiasi dengan Sputnik V diaku yang paling maju untuk rencana mendatangkan 1,6 juta dosis pada tahun ini. "Sedang dosis vaksin Pfizer akan disediakan lewat program Covax," kata Keita.
Versi data pemerintahannya, Guinea hingga pekan ini melaporkan lebih dari 14 ribu kasus Covid-19 dengan 81 kematian. Negara ini pula yang pernah menjadi episentrum wabah Ebola pada 2014 lalu yang menyebabkan lebih dari 2.500 warganya meninggal.
Baca juga:
Telegram Bisa Pindahkan Chat Lama Pengguna dari WhatsApp
Dhillon, penasihat Presiden Guyana saat wabah Ebola lalu, berharap otoritas kesehatan Guinea dan masyarakatnya mampu memanfaatkan pengalamannya berhadap dengan Ebola untuk bisa menghadapi pandemi Covid-19 saat ini.
WASHINGTON POST