TEMPO.CO, Bandung - Penelitian kendaraan listrik kini masih berlangsung di kelompok jaringan lima perguruan tinggi negeri. Tiga fokus penelitian mereka di kampus adalah aturan teknis, teknologi moda, dan baterai. Dana risetnya dari pemerintah juga industri otomotif.
Anggota Tim Kendaraan Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) Martinus mengungkap itu pada Sabtu 13 Februari 2021. Untuk fokus kajian yang pertama yakni aturan teknis dikaitkan dengan kebijakan kendaraan listrik di Indonesia. Perkiraan targetnya aturan itu akan dikeluarkan pada Oktober-November 2021.
"Salah satu yang ditunggu perguruan tinggi yaitu skema kerja sama riset kendaraan listrik dengan industri otomotif," katanya sambil menambahkan, “Kalau dia (industri) melibatkan riset dan pengembangan kampus, akan dapat super tax reduction sampai 200 persen.”
Untuk fokus kedua, beberapa purwarupa dengan beragam moda listrik yang sudah dihasilkan tim peneliti di kampus telah dikembangkan industri seperti sepeda motor listrik. Termasuk ITB, Martinus menuturkan, selama setahun ini tengah menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan otomotif. “Untuk pembuatan mobil listrik hybrid yang murah.”
Konsorsium riset lima kampus itu dipimpin Institut Teknologi Bandung, kemudian Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS), dan Universitas Sebelas Maret (UNS). Dana risetnya dari pemerintah pada 2020 sekitar Rp 20 miliar. "Tahun ini diperkirakan ada peningkatan," kata Martinus.
Fokus ketiga dari riset kendaraan listrik yang dilakukan bersama jaringan lima kampus yaitu baterai. Sejauh ini harga baterai masih jadi tantangan untuk pembuatan kendaraan listrik. “Ini yang diriset di kampus bagaimana caranya agar harga kendaraan listrik tidak terlalu jauh dengan kendaraan berbahan bakar minyak,” ujar Martinus.
Mengikuti harga pasaran dunia, tren baterai listrik menurutnya terus turun setiap tahun seiring dengan perkembangan teknologi. Awal 2010, misalnya, harganya US$ 1160 per kilowatt jam, kemudian turun drastis pada 2018 menjadi US$ 176. “Target risetnya sampai harga baterai turun 10 persen atau US$ 100 per kwh sudah kompetitif,” kata dia.
Komposisi besar di baterai Lithium untuk kendaraan listrik itu kata Martinus, diantaranya kobalt sekitar 7 persen, nikel (16 %), mangan (6%), tembaga (16%), dan aluminium hasil olahan dari bauksit (8%). Ketersediaan unsur baterai itu melimpah jumlahnya di Indonesia.
Baca juga:
Itenas Kembangkan Mobil Listrik Militer, Diberi Meriam Peluru 3 Kilogram
Permintaan baterai kendaraan listrik diperhitungkan akan segera meningkat sekitar 2023-2024 dengan pertumbuhan mencapai 12 persen pada 2025 dan 23 persen pada 2030. “Ini berpotensi menjadi salah satu sumber penghasil terbesar devisa negara Indonesia kelak,” kata Martinus.