TEMPO.CO, Jakarta - SAFEnet dan Open Net Association, dua organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak digital, melihat ada salah satu pasal Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Bidang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) yang berpotensi merugikan masyarakat sipil, yaitu pasal 15 ayat 1 dan 6. RPP Postelsiar adalah salah satu dari 55 RPP turunan UU Cipta Kerja.
Baca:
Unair Tawarkan Golden Ticket di SNMPTN 2021, Ini Syarat dan Ketentuannya
Ayat 1 berbunyi pelaku usaha baik nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia dalam melakukan kerja sama usahanya dengan penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa Telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, dan non-diskriminatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dan ayat 6 berbunyi, dalam memenuhi kualitas layanan kepada penggunanya dan/atau untuk kepentingan nasional, penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa Telekomunikasi dapat melakukan pengelolaan trafik.
Aturan tersebut disusun oleh dua kementerian yaitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Komunikasi dan Informatika. Saat ini sudah ada dua draf yang beredar, pertama draf 5 Januari 2021 dan 30 Januari 2021.
Executive Director SAFEnet Damar Juniarto menerangkan, isinya memang tidak mudah untuk dipahami, karena agak susah menjelaskan secara sederhana. Menurutnya, secara sederhana, di Indonesia, dampak aturan itu sudah ada sejak zaman Telkom memblokir Netflix.
Saat itu, kata Damar, alasan Telkom menggunakan justifikasi tentang pornografi. Padahal problemnya adalah ketidaksenangannya terhadap Netflix, dan berujung pada pemblokiran.
“Dan dilanjutkan dengan kerja sama dengan Disney Hotstar. Itu juga termasuk dalam bentuk pelanggaran Netralitas Jaringan, tapi tidak ada yang bahas,” ujar dia dalam acara virtual, Senin, 15 Februari 2021.
SAFEnet dan Open Net Association telah mengkaji RPP Postelsiar tertanggal 30 Januari 2021 (Peraturan Pelaksana UU No. 11/2020) dan meminta pasal 15 dihapus untuk melindungi netralitas jaringan dan dengan demikian melindungi kebebasan berbicara dan hak orang untuk mengakses internet.
Netralitas jaringan adalah aturan bahwa ISP harus memperlakukan semua lalu lintas data secara setara terlepas dari konten, aplikasi, dan perangkat. Konsekuensi dari aturan ini adalah pengiriman data tidak boleh diprioritaskan, dilakukan, atau dibatasi untuk pembayaran.
Inilah sebabnya mengapa regulator telekomunikasi Amerika Serikat dan Uni Eropa secara eksplisit menolak atau melarang ISP untuk mengenakan biaya pengiriman data penyedia konten. Aturan ini membentuk jaringan komunikasi terdesentralisasi secara radikal yang disebut internet.
Ini memungkinkan semua individu di seluruh dunia untuk berkomunikasi satu sama lain secara bebas tanpa harus bergantung atau membayar penjaga gerbang untuk pengiriman data. Dengan demikian menjadi dasar untuk demokratisasi politik dan kesetaraan peluang ekonomi.
“Padahal kalau diserahkna ke mekanisme pasar, untuk akses kita akan bayar dan berdampak cukup banyak. Di Korea harga akses internet meningkat, bisnis startup dan usaha UMKM memilih pindah ke negara lain, dan tidak adanya keberagaman konten dan merugikan,” tutur Damar.
Menurut Damar, pasal tersebut lebih mengutamakan platform bisnis daripada Masyarakat secara umum. “Kami mempersoalkan satu pasal saja, khususnya ayat 1 dan 6. Dari dua ayat ini ada upaya memindahkan praktik yang hanya dilakukan di Telkom Grup sekarang dilakukan secara nasional,” kata dia.
Sementara, Direktur Eksekutif Open Net Association KS Park yang juga hadir dalam acara virtual itu menerangkan Pasal 15 dalam RPP Postelsiar adalah perlombaan menuju dasar Indonesia, seperti Korea Selatan, yang memiliki oligopoli di pasar ISP.
Artinya, Park berujar, ada bahaya nyata bahwa ISP akan menggunakan aturan ini untuk memberikan beban finansial yang lebih besar pada ekosistem internet. “Ini melemahkan keragaman konten dan dialog online,” tutur Park.
Jika pemerintah Indonesia tertarik untuk mengembangkan ekonomi digital, Park menambahkan, pemerintah harus membuat undang-undang tentang netralitas internet, bukan menentangnya. “Pasal 15 jelas-jelas menentangnya,” kata dia.
Oleh karena itu, Park menjelaskan, Open Net Association, sebagaimana SAFEnet, menuntut Pasal 15 dihapus dari RUU Postelsiar agar makna peradaban internet dipulihkan dan dilestarikan di Indonesia serta tidak mengorbankan hak digital warga. "Jangan korbankan hak digital warga hanya karena untuk mementingkan pengusaha. Ini alasan kami menentang dan mengharaokan pasal 15 dihapuskan,” ujar Park menambahkan.