5. Kekurangan dari Vaksin Nusantara ini menurut Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, dikarenakan vaksin dendritik ini sebelumnya banyak digunakan untuk terapi pada pasien kanker yang merupakan terapi yang bersifat individual maka tidak layak digunakan sebagai metode vaksinasi massal.
Pandu memberikan dua catatan. Pertama, terdapat perbedaan sel dendritik pada terapi kanker dengan vaksin dendritik, di mana untuk terapi kanker sel dendritik tidak ditambahkan apa-apa, hanya diisolasi dari darah pasien untuk kemudian disuntikkan kembali kepada pasien tersebut. Sementara pada vaksin, sel dendritik ditambahkan antigen virus.
Kedua, sel dendritik perlu pelayanan medis khusus karena membutuhkan peralatan canggih, ruang steril, dan inkubator CO2, dan adanya potensi risiko. Dengan demikian, sangat besar risiko, antara lain sterilitas, pirogen, atau ikutnya mikroba yang menyebabkan infeksi dan tidak terstandar potensi vaksin karena pembuatan individual.
6. Vaksin Nusantara telah rampung penelitian fase pertama. Anggota Tim Peneliti Vaksin Nusantara Yetty Movieta Nency menyebutkan fase satu untuk melihat keamanan telah dilalui.
“Alhamdulillah efek samping minimal, berjalan singkat, dan tak perlu pengobatan,” katanya pada Kamis, 18 Februari 2021.
Dia menyebutkan, dalam penelitian fase itu melibatkan 27 orang subjek penelitian. Dalam pengamatan singkat selama empat pekan tersebut, kata Yetty, terjadi peningkatan antibodi pada subjek. Pihaknya kini menunggu restu Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM untuk memasuki penelitian fase kedua.