TEMPO.CO, Yogyakarta - Alat deteksi virus Covid-19 berdasar hembusan napas temuan para ahli Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, GeNose C19, kini menanti validasi eksternal sebelum bisa masuk dalam guidline atau standar alur penanganan Covid-19 nasional.
Baca:
FDA Sahkan Vaksin Covid-19 Johnson & Johnson, Cukup 1 Suntikan
Jika validasi eksternal ini sudah terpenuhi, GeNose baru bisa dibawa ke tahapan selanjutnya, yakni mendapatkan surat edaran dari Kementerian Kesehatan agar bisa dipakai menyeluruh dalam penanganan Covid-19 di tanah air.
"Validasi eksternal ini semacam uji atau tes ulang dengan skema uji diagnostik post-marketing namun yang mengerjakan bukan peneliti UGM, melainkan peneliti lain," ujar peneliti yang juga anggota tim penemu GeNose C19 Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dian Kesumapramudya Nurputra, kepada Tempo, Jumat, 26 Februari 2021.
Dosen Fakultas Kedokteran UGM itu menyebut sejumlah pihak di luar UGM kini telah bersiap menguji GeNose itu. Mulai dari Badan Penelitian Pengembangan (Balitbang) Kementerian Kesehatan, serta sejumlah pakar dari berbagai universitas, seperti dari Universitas Andalas dan Universitas Indonesia (UI).
"Jadi dalam uji eksternal ini kami (tim pengembang) dari UGM sudah tidak cawe-cawe (ikut) lagi, kami hanya melatih saja orang yang menggunakan GeNose itu karena seluruh uji mereka yang mengerjakan," ujar Dian.
Jika hasil uji validasi eksternal itu bagus dalam arti konsisten atau sesuai dengan fungsi yang diemban alat itu yakni mendeteksi virus dari hembusan napas, maka kemungkinan besar GeNose bisa mendapatkan restu dari Kementerian Kesehatan. Berupa surat edaran agar GeNose dipakai atau diterapkan di berbagai fasilitas layanan kesehatan tanah air.
"Target kami saat ini adalah GeNose bisa masuk guideline alur penanganan Covid-19 secara nasional, maka kami tak mau muluk-muluk atau buru-buru mendaftarkan alat itu ke WHO," ujarnya.
Dian menuturkan, sembari menunggu rampungnya validasi eksternal itu, GeNose saat ini memang baru diterapkan di Kementerian Perhubungan. Baik di stasiun juga bandara, sebagai syarat untuk screening bagi para pelaku perjalanan.
Selain itu, dari tim pengembang juga masih terus meneliti alat itu. Bukan berarti setelah mendapatkan izin edar dan produksi tim berhenti mengembangkan alat itu.
Sebab hingga saat ini tim pengembang pun masih terus menghimpun data, melatih realibilitas atau kehandalan alat yang ditunjang sistem kecerdasan buatan itu.
Pada saat uji diagnostik pre-marketing, subyek yang diperiksa baru sekitar 2000-2500 orang, sehingga kadang kala apabila ada faktor determinan yang sangat kecil kejadiannya belum ditemukan.
"Nah dengan uji diagnostik post-marketing, yang dikerjakan oleh berbagai pihak, baik dari UGM sendiri, maupun pihak eksternal, dan dengan jumlah orang yang diperiksa makin banyak, maka selain kehandalan alat makin teruji, berbagai faktor tersebut dapat diidentifikasi," ujar Dian.
Meski akurasi alat itu sudah tercatat di atas 90 persen dalam mendeteksi keberadaan virus setelah dikonfirmasi ke hasil pemeriksaan PCR, namun tim terus menggenjot agar akurasi ini kian maksimal dengan memperkaya database mesin itu.
Sehingga hasil analisa alat itu kian valid dan kecerdasan buatan yang ditanam makin terlatih.
"Dalam uji diagnostik post marketing dan pengujian. alat ini, pemeriksaan PCR kami rekomendasikan dua hari setelah screening GeNose," ujarnya.
Waktu dua hari diambil sebagai jeda karena dari hasil penelitian klinis dan berbagai laporan penelitian di luar negeri, uji PCR baru sensitif mendeteksi keberadaan virus di hari keempat dan kelima pasca pasien terpapar. Sedangkan GeNose cukup sensitif mendeteksi di hari kedua sewaktu dipakai dalam uji klinis antara bulan Oktober hingga Desember 2020 kemarin.
"Makanya ketika pemeriksaan GeNose menemukan hari ini positif, kalau langsung PCR ya akan negatif, paling tidak periksa PCR-nya dua atau tiga hari kemudian," kata Dian.
Meski akurasi terus digenjot maksimal, Dian menambahkan, tim pengembang belum terpikir menempatkan GeNose sebagai pengganti PCR. "GeNose adalah pelengkap, sebagai screening, bukan menggantikan PCR, karena PCR tidak mungkin dipakai untuk screening, melainkan penentu diagnostik," ujarnya.
PRIBADI WICAKSONO