TEMPO.CO, Lumajang - Teriakan peringatan banjir berkali-kali terdengar dari luar rumah di malam buta. Jam waktu itu menunjukkan pukul 01.15 WIB, Minggu dini hari, 28 Februari 2021.
Baca:
FDA Sahkan Vaksin Covid-19 Johnson & Johnson, Cukup 1 Suntikan
Ketika kubuka pintu depan, kulihat air sudah deras mengalir di halaman depan rumah.
"Sampeyan tak bengoki mulai mau le, gak tangi-tangi (Kamu, saya panggil berkali-kali dari tadi gak bangun-bangun)," kata Bu Manis, tetangga samping rumahku. Aku menjawab kalau aku baru tidur sekitar pukul 21.30 WIB, semalam.
Sementara, istriku, Dian, tidak bisa meninggalkan tempat tidur karena anak ketigaku, Tan, yang baru berusia satu tahun setengah, tidak mau lepas dari ASI-nya. Aku bangunkan kemudian anak pertamaku, Pamuji, 12 tahun, dan Rayi, 10 tahun. Keduanya kemudian bergegas mengikutiku di teras depan rumah.
Di halaman rumah, air terlihat semakin meninggi dan merendam undak-undakan pertama teras rumahku. Tak lama kemudian istriku ikut terjaga dan bergabung dengan kami. Adik Tan, yang nggak mau diajak bangun, menangis minta tidur lagi. Istriku terus berusaha menenangkannya.
Di separo teras kami, baru berdiri sebuah toko - lebih pas disebut etalase karena hanya ditutup kaca transparan. Khawatir air semakin meninggi dan merendam teras, bertiga dengan Pamuji dan Rayi, kami kemudian memindahkan barang-barang yang berada di rak terbawah ke tempat yang lebih tinggi sembari berdoa, air tidak terus meninggi.
Suara kentongan terdengar dipukul bertalu-talu dan teriakan-teriakan banjir semakin ramai terdengar. Dari dalam masjid dan mushala, terdengar suara orang mengaji dan melantunkan doa-doa agar dikaruniai keselamatan. Kabar dari orang-orang kampung mengatakan kalau desa kami tengah dikepung banjir.
Sungai meluap dan airnya tumpah ke jalan. Selentigan kabar juga menyebutkan kalau kampung sebelah sudah terendam air. Tiba-tiba telepon yang ada di genggamanku bergetar ada panggilan dari teman yang tinggal di kampung sebelah. "Vid, di Biting, banjir, rumah Udin, kebanjiran," kata Tono meneleponku.
Dia mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Tapi rumah Udin yang tidak sedang baik-baik saja. Akhirnya kami menghentikan pembicaraan sembari menyepakati untuk tetap berbagi kabar. Temanku lainnya yang juga dari Biting mengabarkan kalau daerahnya juga banjir.
Di kampung kami, Selok Besuki, air sudah setinggi lutut. Sepatu boot yang kukenakan sudah kemasukan air. Mau tak mau, sesekali aku ikut bergabung dengan tetanggaku di jalan kampung yang sudah tampak seperti sungai itu. Waktu itu jam sudah menunjukkan pukul 03.00 WIB.
Melalui telepon, Effendi, seorang teman yang juga aktif dalam relawan bencana mengabarkan hujan di daerah atas sudah reda, tapi banjir sudah terjadi di mana-mana. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang telah menerjunkan orang-orangnya beserta relawan untuk melakukan evakuasi di kampung sebelah.
Dia memintaku untuk terus memberi kabar apabila sewaktu-waktu banjir semakin memburuk. Di tengah kepanikan kami, lantunan doa terus terdengar dari dalam masjid dan mushala. Situasi di luar masih gelap saat itu. Sinar bulan terhalang mendung agak tebal yang menggelayut di langit.
Sekitar pukul 03.30 WIB, air sedikit-demi sedikit sudah tampak mulai surut. Warga kampung kami sudah mulai membersihkan rumah mereka dari lumpur yang ikut terbawa banjir. Suara azan subuh berkumandang. Dan tak lama kemudian warga mulai turun dari masjid.
Informasi yang diterima TEMPO menyebutkan bahwa banjir terjadi di sejumlah desa di Kabupaten Lumajang. BPBD Lumajang tengah sibuk melakukan penanganan. "Saat ini fokus penanganan," kata M. Wawan Hadi, Kepala Bidang Pencegahan Kesiapsiagaan dan Logistik BPBD Lumajang.
DAVID PRIYASIDHARTA