TEMPO.CO, Jakarta - Setahun pandemi Covid-19, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam mengapresiasi langkah pemerintah dalam penanganan pandemi, khususnya program vaksinasi.
Baca:
Mengejutkan, Studi ANU Sebut Komodo Berasal dari Australia
“Vaksinasi, kita melakukannya termasuk cepat dan sudah lebih dari dua juta divaksin. Jadi kita tergolong cepat,” kata dia kepada Tempo, Selasa, 2 Maret 2021.
Menurutnya, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri cukup cepat mencari vaksin dan bekerja sama dengan Sinovac, bahkan juga melakukan pengujiannya. Sekarang, program vaksinasi sudah masuk pada tahap untuk orang-orang yang berisiko. Ari berharap yang divaksin semakin banyak.
“Tapi setelah divaksin, sebaiknya tetap menerapkan 3M dan tetap konsisten. Kemudian pemerintah daerah juga harus tetap melakukan razia agar tidak ada kerumunan, dan pemerintah pusat juga harus fokus tracing, testing, dan treatment,” kata Ari.
Meskipun begitu, Ari memberikan catatan khusus dalam hal penanganan pandemi Covid-19 selama setahun ini. Menurut Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI itu, di awal Indonesia termasuk memiliki respons yang lambat dalam penanganan Covid-19 ini.
Padahal, pada akhir Januari 2020, pihaknya sudah melakukan simposium awal, karena Covid-19 berpotensi mencapai pandemi. “Kami berharap pemerintah siap, dan kami terus-terusan bilang agar menjaga ketat pintu masuk. Kami berkali-kali bicara itu,” tutur dia.
Masalah lainnya, kesiapan dari laboratorium yang di awal hanya boleh dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan. Padahal, hal itu merupakan pekerjaan sehari-hari para dokter dan ilmuwan di bidangnya.
“Meksipun akhirnya kita dilibatkan setelah beberapa waktu. Itu juga terlambat,” kata pria berusia 54 tahun itu. “Ini harus menjadi pembelajaran untuk masa yang akan datang.”
Selama setahun, per pagi ini, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melaporkan terdapat 1.341.314 terkonfirmasi positif. Dari angka tersebut 1.151.915 sudah dinyatakan sembuh dan 36.325 meninggal.
Sementara, Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Chairul Anwar Nidom, mengatakan program vaksinasi ini terlihat hanya mengejar jumlah suntikannya. Menurutnya, program tersebut tidak melihat bagaimana kondisi terbentuknya antibodi yang protektif.
Timnya dari Laboratorium Profesor Nidom Foundation (PNF) telah mengkaji hasil vaksinasi selama ini. Ternyata, kata dia, ada tiga kelompok, pertama antibodi yang terbentuk cukup dan daya protektifnya bagus, kedua antibodi cukup tapi tidak punya daya protektif. “Dan ketiga antibodinya tidak terbentuk otomatis, tidak punya daya protektif saat orang yang divaksin,” tutur dia.
Menurut Nidom, kelompok kedua dan ketiga bisa mengkhawatirkan, karena mereka merasa divaksin, tapi tidak punya daya proteksi terhadap Covid-19. Jadi, kata ketua tim Laboratorium PNF ini, virus yang menginfeksi kelompok kedua dan ketiga bisa tidak terprediksi.
“Masyarakat tidak boleh menganggap enteng karena sudah vaksin. Tetap harus melaksanakan protokol kesehatan program 3M. Harus dilaksanakan dengan disiplin tinggi,” kata Nidom.
Selain itu, Nidom juga mencatat bahwa baru pandemi kali ini platform vaksin dibebaskan. Ada platform inaktivasi, mRNA, DNA, sub unit protein, dan sebagainya. Semua baik menurut produsen atau makelarnya, katanya, tapi tidak dilakukan riset mendalam menggunakan virus di alam.
Di Indonesia, profesor di FKH Unair ini berujar, ada vaksin pemerintah (inaktivasi) dan vaksin mandiri (non-pemerintah). Bisa dibayangkan, kata dia, bagaimana virus ini mengalami banyak karakter, karena dalam suatu komunitas ada macam-macam antibodi, tergantung platform vaksin masing-masing.
Maka mutan virus bisa bermacam, sehingga langkah yang harus dilakukan menjadi lebih kompleks untuk mengendalikannya. “Kalau mau berbeda platfom seharusnya dilokalisasi. Misalnya vaksin A untuk Jawa, B untuk Sumatera dan seterusnya, sehingga saat terjadi mutasi virusnya dilokalisir. Tapi sepertinya sulit, karena sudah berat ke aspek bisnis,” tutur Nidom.
Dia juga mempertanyakan bagaimana nasib Vaksin Merah Putih garapan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 bentukan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional. Nodom mengaku pesimis dalam pengembangannya. Di Indonesia, dia menjelaskan, penguatan riset dari hulu ke hilir terutama soal vaksin Covid-19 belum terbangun dengan baik.