TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Amin Soebandrio menjelaskan varian Covid-19 yang muncul di Indonesia. Menurutnya, varian Covid-19 bisa saja ditemukan di beberapa negara, tapi pihaknya juga harus mempunyai data sendiri.
Baca:
Tercepat, Eijkman Serahkan Bibit Vaksin Merah Putih ke Bio Farma Akhir Maret
“Artinya kita mesti tahu di negara kita ada berapa varian itu, selama bukan menjadi yang dominan di negara kita. Supaya vaksin yang ada bisa dipakai,” ujar dia melalui sambungan telepon, Selasa, 16 Maret 2021.
Sebelumnya diberitakan LBM Eijkman menyatakan ada 48 jenis virus mutasi SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 di Indonesia sejak 2020. Dia tidak menjelaskan detail dari varian tersebut, hanya menyebutkan adanya varian B.1.1.7 yang baru ditemukan tujuh isolat dan N439K yang sudah ditemukan sejak November 2020.
“Kalau varian saya tidak begitu hafal, tapi bisa kita lihat dari grade atau kelompoknya, bukan varian. Memang ada pergeseran ya. Di dunia juga begitu,” kata Amin.
Amin yang juga Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu mengatakan jika awal tahun lalu dominasinya adalah SARS-CoV-2 grade L, S, dan O, sementara jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu didominasi grade G dan turunannya, termasuk GR dan GH.
“Sekarang yang terbaru B.1.1.7, itu termasuk grade GR, tapi intinya semuanya G,” tuturnya.
Sampai saat ini di dunia, meskipun banyak varian-varian baru SARS-CoV-2 belum ada rekomendasi untuk mengubah dan menyesuaikan vaksinnya. Sehingga, Amin berujar, vaksin yang ada masih bisa digunakan dan mampu melawan virus.
Menurut peraih gelar Ph.D dari Osaka University/Kobe University itu, jika terjadi perubahan yang ekstrem seperti halnya vaksin influenza, kemungkinan nanti akan ada rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk vaksin Covid-19. “Jadi nanti, untuk daerah tertentu misalnya vaksinnya harus pakai vaksin X, daerah lain vaksin Z, itu mungkin saja kalau memang diperlukan,” kata pria kelahiran Semarang, 67 tahun lalu itu.