TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog Universitas Sebelas Maret (UNS), Tonang Dwi Ardyanto, menjelaskan alasan jika seseorang sudah disuntik vaksin Covid-19 sebanyak dua kali, sebulan kemudian dinyatakan positif. Menurutnya, vaksin yang saat ini digunakan berisi virus mati atau bagian virus yang sudah tidak aktif lagi.
Baca:
Tercepat, Eijkman Serahkan Bibit Vaksin Merah Putih ke Bio Farma Akhir Maret
“Begitu disuntikkan di otot, segera ditangkap oleh sel-sel imun, dibawa ke kelenjar limfe,” ujar dia dalam Grup WhastApp Liputan Covid-19, Rabu, 17 Maret 2021.
Program vaksinasi sudah dimulai sejak 14 Januari 2021 lalu. Tahap pertama fokus pada kelompok yang rentan seperti tenaga kesehatan, petugas layanan publik dan lansia.
Data dari situs resmi Kementerian Kesehatan mencatat, vaksinasi yang dilakukan pada kelompok prioritas sudah dilakukan pada 1.454.836 orang, per per 13 Maret 2021. Sementara jumlah masyarakat yang divaksin dosis pertama yakni sebanyak 3.985.596 orang.
Tonang yang juga seorang dokter patologi klinik itu menerangkan, vaksin tidak membuat tes PCR atau antigen menjadi positif. “Kalau setelah vaksin ternyata positif, berarti itu karena penularan, bukan karena vaksinasi,” kata dia.
Menurut lulusan sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret itu, setelah vaksinasi dengan jenis inactivated seperti produk Bio PT Farma saat ini, maka target utama adalah terbentuk antibodi S. “Tapi karena bentuknya virus utuh yang dimatikan, maka dapat juga terbentuk antibodi N,” tutur dia.
Sedangkan, kata dia, kebanyakan rapid tes antibodi, mendeteksi antibodi N. Maka setelah vaksinasi dengan vaksin Covid-19 produk BioFarma, bisa terjadi hasil rapid tes antibodi reaktif, dalam bentuk IgM maupun IgG. Sedangkan vaksin selain inactivated, cenderung fokus hanya pada antibodi S.
Maka, Tonang berujar, rapid tes antibodi baru hasilnya bisa reaktif kalau targetnya mendeteksi antibodi S. “Apakah rapid tes antibodi reaktif itu sudah menunjukkan efek vaksin menetralisasi virus? Belum, perlu tes lain,” kata dia menambahkan.