TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Tjandra Yoga Aditama menegaskan bahwa E484K merupakan mutasi baru, dan bukan varian baru, pada virus corona Covid-19. Mutasi E484K ini diakui mengkhawatirkan karena diduga berdampak kepada respons sistem imun tubuh dan karenanya mungkin mempengaruhi efek vaksin.
Profesor yang adalah mantan Direktur Penyakit Menular di WHO Asia Tenggara itu menjelaskan E484K sudah ada dalam variant of concern WHO per 1 April 2021. Sedang Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) telah lebih dulu melakukannya per 24 Maret 2021.
Baca juga:
Virus Corona Ini Sudah Lama di Indonesia, Menkes: Tak Jadi Perhatian WHO
"Mutasi E484K ini oleh sebagian pakar disebut sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan dan merupakan sebuah peringatan," kata Tjandra dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa 6 April 2021.
Mutasi ini, Tjandra menuturkan, pertama kali diidentifikasi pada varian virus corona Covid-19 yang dilaporkan dari Afrika Selatan (B.1.351) dan Brasil (B.1.1.28). Belakangan juga dilaporkan ada pada varian asal Inggris (B.1.1.7).
Inggris, disebutkannya, mengidentifikasinya sesudah memeriksa 214.159 sampel sekuens genom. "Sesudah ditemukan mutasi virus itu maka pemerintah Inggris melakukan penelusuran kontak yang intensif disertai kegiatan tes dan analisis laboratorium lanjutannya," katanya.
Baca juga:
Virus Corona Covid-19 Hybrid Ditemukan di Amerika, Rekombinasi Dua Varian
Tjandra menambahkan, E484K juga disebut sebagai mutasi pelarian atau penghindaran (escape mutation) karena dapat membuat virus lolos dari pertahanan imun tubuh manusia. Data dari laboratorium menunjukkan bahwa virus Covid-19 varian B.1.1.7 kalau ditambah mutasi E484K akan membuat tubuh perlu meningkatkan jumlah antibodi serum untuk dapat mencegah infeksinya.
"Kita sudah sama ketahui bahwa varian B.1.1.7 memang sudah terbukti jauh lebih mudah menular, sehingga kalau bergabung dengan mutasi E484K maka tentu akan menimbulkan masalah cukup besar bagi penularan Covid-19 di masyarakat," ujarnya.
Selain itu, kata Tjandra, mutasi E484K juga nampaknya akan memperpendek masa kerja antibodi netralisasi di dalam tubuh. Dengan kata lain, "Orang akan jadi lebih mudah terinfeksi ulang sesudah dia sembuh dari gejala Covid-19."
Baca juga:
Ditemukan di Brasil, Pasien Diinfeksi Dua Varian Virus Covid-19 Sekaligus
Karena pengaruhnya terhadap antibodi maka mungkin akan ada dampak mutasi E484K ini pada efikasi vaksin. Soal terakhir itu, Tjandra mengatakan, masih menunggu hasil penelitian selanjutnya yang dilakukan peneliti di dunia terhadap virus corona Covid-19.