TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah memutuskan melebur Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ke depan hanya akan ada Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Ristek serta tambahan sebuah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang sifatnya otonom.
Menanggapi hal itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam menanyakan kementerian atau lembaga apa yang akan memimpin riset nasional ke depan. Di satu sisi sebelumnya ada proses bahwa akan ada peraturan presiden yang memperkuat lembaga Badan Riset dan Investasi Nasional (BRIN) sebagai lembaga yang memperkuat riset dan investasi.
“Hak presiden untuk melakukan reformasi kelembagaan dan juga haknya pleno DPR untuk menyetujui reformasi yang diusulkan presiden,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Minggu, 11 April 2021.
Sejauh yang dia ketahui, kata Ari, jika sudah ditetapkan oleh pleno DPR, artinya DPR secara kelembagaan sudah menyetujui proses perubahan kelembagaan ini. Namun, tentu semuanya perlu mendapat masukan dari berbagai pihak terutama para stakeholder yang menjalani riset sehari-hari.
Menurut Ari, yang juga seorang dokter spesialis penyakit dalam, selama ini dia melihat bahwa para menteri-menteri yang merupakan pembantu presiden tidak semuanya performed dan tidak semuanya bisa berkomunikasi baik dengan publik dan stakeholder yang terkait dengan kementerian tersebut.
Ari melihat Bambang Brojonegoro sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) mempunyai peran baik dan signifikan. Menurutnya, Bambang merangkul semua stakeholder yang ada, para peneliti baik yang berasal dari institusi pendidikan, kementerian dan lembaga penelitian yang lain.
“Begitu pula semangatnya merangkul industri untuk masuk di awal dalam proses penelitian dengan terus menggaungkan triple helix,” ujar Ari.
Konsep triple helix sendiri bukan konsep baru, tapi Bambang saat ini terus menerus menggaungkan hal tersebut. Konsep triple helix ini menyatakan bahwa akademisi atau peneliti bekerja sama dengan industri dan pendanaan serta fasilitas riset di adakan oleh pemerintah.
Bahkan dalam berbagai kesempatan, Ari berujar, Bambang menyampaikan bahwa pekerjaan riset sedari awal sudah melibatkan industri, bukan sesuatu proses yang sekuens. Karena jika proses riset dilakukan secara sekuens, industri belum tentu mau menggunakan produk yang dihasilkan para peneliti dan akhirnya proses hilirasi tidak berjalan seperti yang diharapkan.
“Terus terang buat kami para peneliti, apa yang di sampaikan berulang-ulang oleh Prof Bambang sebagai Menristek merupakan angin segar untuk pengembangan riset Indonesia ke depan. Visi dan misi beliau jelas,” kata Ari.
Menurut praktisi klinis itu, keberadaan Bambang sebagai Menristek dirasakan semua pihak. “Latar belakang beliau sebagai seorang akademisi, peneliti, dan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional menjadi mumpuni ketika memimpin Kementerian Riset dan Teknologi,” ujar dia.
Pada masa pandemi Covid-19, menurutnya, jelas sekali peran Kemenristek, baik untuk menyediakan hibah dan merangkul semua pihak untuk melakukan refocusing riset ke arah riset untuk mengatasi pandemi. “Termasuk juga untuk melahirkan startup baru di bidang teknologi dan industri,” katanya.
Bagi Ari, BRIN atau apa pun namanya, harus dipegang oleh seorang profesional agar arah riset dan teknologi Indonesia menjadi jelas ke depannya. Alasannya, pengembangan teknologi Indonesia sudah tertinggal, kemandirian bangsa bisa terwujud jika riset dan teknologi dapat dikuasai dengan baik oleh bangsa sendiri. “Untuk itu perlu lembaga dan pemimpin yang kuat, yang bisa membawa riset dan teknologi ini menuju kemandirian bangsa,” Ari menambahkan.
Baca:
Bambang Brodjonegoro: Saya Sedih Jadi Menristek Terakhir