Pada Covid-19, sel--dalam istilah Nidom--dirangsang atau digertak menggunakan protein atau materi genetik dari SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19. Sama, setelah matang, sel disuntikkan kembali ke dalam tubuh pemiliknya. Diharapkan, sel dendritik dalam wujud Vaksin Nusantara ini akan memproduksi antibodi yang siap menetralisir virus yang menginfeksi.
“Saat sel dendritik tua, maka sel itu akan menularkan kemampuannya menetralisir virus kepada sel dendritik yang lebih muda," kata dia sambil menambahkan, "Sehingga tidak keliru kalau dikatakan antibodi Vaksin Nusantara seumur hidup.”
Masalahnya, profesor di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya itu menjelaskan, persoalan yang dibincangkan saat ini lebih terletak pada istilah vaksinasi yang diharapkan bisa membentuk kekebalan kelompok (herd immunity). Sedang Vaksin Nusantara, karena metodenya itu, bersifat individual.
Nidom berasumsi tim Vaksin Nusantara sudah tahu cara membuatnya untuk kelompok dan mencari tahu sumber sel dendritik yang bersifat homologus, sehingga bisa digunakan untuk semua orang. "Karena sel itu kan berbeda antar individu atau bersifat autologus," katanya sambil berharap ada publikasi ilmiah yang dilakukan tim riset vaksin itu.
Harapan yang sama disampaikan epidemiolog di Griffith University, Australia, Dicky Budiman. Dia menyatakan belum pernah membaca tinjauan atas teknik vaksin sel dendritik untuk Covid-19 di jurnal-jurnal ilmiah dunia.
Senada dengan Nidom pula, berdasarkan pengetahuannya atas riset sejenis yang dilakukan di Jepang, Dicky mengatakan teknik semacam Vaksin Nusantara bersifat individual dan sangat mahal dibandingkan vaksin konvensional. "Bisa sampai Rp 200 juta per orang, dan pantas semahal itu karena mengeluarkan sel dari dalam tubuh kemudian memasukkannya lagi," katanya saat bicara di sebuah siaran televisi nasional, Kamis malam 15 April 2021.
Dalam keterangan terpisah, anggota Tim Peneliti Vaksin Nusantara, Yetty Movieta Nency, justru menggunakan sifat sel yang unik antar individu itu untuk mengklaim vaksin nantinya akan kecil kemungkinan menimbulkan infeksi. Ini karena yang menjadi penerima vaksin dari sel dendritik adalah tidak lain pemilik asli sel tersebut.
Yetty mendasarkan klaim kepada hasil uji awal (tahap 1) yang diakunya tak ditemukan efek berlebihan. Dia menyebutkan efek sampingnya minimal, berjalan singkat, dan tak perlu pengobatan. Tambahan lagi, tidak seperti teknik vaksin lainnya, “Dalam Vaksin Nusantara tak ada tambahan adjuvan maupun komponen binatang. Hal tersebut sekaligus meyakinkan masyarakat terhadap status halal vaksin Covid-19.”
Tapi, seperti diketahui, BPOM memberi catatan panjang atas hasil uji awal Vaksin Nusantara. Misalnya, ketiadaan komite etik di laboratorium pelaksanaan uji klinis di RS Kariadi Semarang. Yetty dkk yang di bawah pimpinan Terawan diharuskan melakukan tindakan korektif dan melaporkannya sebelum bisa berlanjut ke uji klinis fase 2.
Baca juga:
Mantan Menkes Terawan Bikin Bikin Vaksin Nusantara, Ini Kata BPOM