Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ciptakan Aplikasi Pembaca Cuaca untuk Petani, Dosen UGM: Perkecil Gagal Panen

image-gnews
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Bayu Dwi Apri Nugroho menjelaskan kepada petani penggunaan aplikasi smart farming bernama Automatic Weather Sensor (AWS). Kredit: Istimewa
Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Bayu Dwi Apri Nugroho menjelaskan kepada petani penggunaan aplikasi smart farming bernama Automatic Weather Sensor (AWS). Kredit: Istimewa
Iklan

TEMPO.CO, Yogyakarta - Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Bayu Dwi Apri Nugroho menciptakan teknologi sensor Automatic Weather Sensor (AWS) untuk membantu petani membaca kondisi cuaca dan tanah.

Teknologi aplikasi berkonsep smart farming 4.0 itu tahun 2020 lalu berhasil menyabet penghargaan juara pertama dari ajang yang digelar komunitas peneliti di Jerman, Hermes Award untuk kategori Startup.

Bayu membeberkan, latar belakang membuat teknologi itu adalah fenomena perubahan iklim yang semakin tak mudah dideteksi sehingga kerap membuat petani gagal panen.

"Sesuai bidang saya, di mana saat S3 saya mendalami dampak perubahan iklim terhadap pertanian di Indonesia," kata Bayu, Senin, 19 April 2021.

Bayu mengatakan dari penelitiannya diperoleh data bahwa dalam kurun waktu 20 tahun, dari tahun 1980 hingga 2010, banyak terjadi permasalahan di pertanian, yaitu gagal panen atau puso dan penurunan produktivitas panen akibat dari ketidakpastian iklim.

Data dari Kementerian Pertanian tahun 2018 menyebutkan bahwa luas lahan yang terkena dampak dari gagal panen atau puso ini sebesar 20.269 hektare di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan penurunan produktivitas panen mencapai 20 persen.

"Permasalahan ini menjadi sangat rumit saat kita tanyakan ke petani mengenai perubahan iklim ini. Sebagian besar petani menyebutkan bahwa ketidakpastian iklim ini akibat salah mongso atau salah musim, padahal ketidakpastian iklim akibat perubahan iklim adalah suatu yang bisa dipelajari secara ilmiah," kata Bayu.

Iklim merupakan siklus, dan pergeseran-pergeseran musim maupun cuaca adalah hal yang biasa dan bisa dipelajari.

Selama ini pergeseran atau siklus itu panjang, 5-7 tahun, sehingga kalau dirasakan sekarang, nanti 5-7 tahun berikutnya lagi mungkin petani sudah lupa.

"Sedangkan kondisi sekarang siklus iklim tersebut semakin memendek, yang biasanya 5-7 tahun menjadi 2-3 tahun, ini karena adanya pemanasan global (global warming). Kita bisa membuatkan prediksi kondisi iklim ke depan termasuk kalendar dan jadwal tanamnya dengan menggunakan data-data iklim tahun-tahun sebelumnya," katanya.

Namun, kata Bayu, kondisi itu masih dirasa kurang karena belum mewakili lingkup yang lebih sempit. Pihaknya menyadari bahwa kondisi hujan dengan perbedaan lokasi kilometer saja bisa berbeda.

"Hal ini yang sering dikeluhkan petani, karena kadang prediksi-prediksi atau informasi-informasi cuaca tersebut kurang akurat," katanya.

Permasalahan yang ditemukannya adalah mengenai level informasi cuaca yang bisa dilihat di stasiun TV, internet, radio maupun media cetak dan online.

Selama ini level informasi cuaca masih dalam skala kabupaten atau kota dan digeneralisasi. Sebagai contoh, bisa dilihat di informasi cuaca di TV, bahwa Kota Surabaya hujan atau berawan.

Level informasi yang demikian, menurutnya, kurang akurat bagi petani yang levelnya desa atau bahkan petak sawah, sehingga banyak petani yang tertipu dengan informasi tersebut. 

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana cara membantu petani memecahkan permasalahan tersebut?

"Perlu dipasang suatu alat atau sensor yang bisa memberikan informasi kondisi di lahan petani secara real time dan akurat," katanya.

Informasi-informasi mengenai cuaca, seperti curah hujan, suhu, kelembapan, arah dan kecepatan angin harus secara riil dan akurat dari lahan.

Namun tidak cukup hanya sensor cuaca saja, juga diperlukan sensor tanah untuk mengukur parameter pH, kondisi air dalam tanah, tingkat kesuburan tanah dan suhu tanah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Sensor-sensor yang terpasang, baik sensor cuaca dan tanah, akan memberikan informasi ke petani, tetapi apakah petani membutuhkan sensor ini?" ujarnya.

Menurutnya, untuk peneliti atau akademisi, data-data ini sangat-sangat berguna untuk konsumsi penelitian. Namun, untuk petani, tidak butuh alat ini sama sekali. Yang dibutuhkan petani adalah kepastian kondisi cuaca besok dan apa yang harus dilakukan oleh petani.

"Sensor yang dipasang tadi hanyalah alat untuk mendapatkan data kondisi riil di lahan dan sebagai bahan untuk analisa ke depan seperti apa," kata dia.

Maka, untuk mendukung kinerja alat itu, Bayu dan timnya merancang dan membuat algoritma yang bisa menerjemahkan data-data yang didapat dari alat tersebut serta prediksi ke depan.

Setelah berhasil menerjemahkan dan membuat prediksi ke depan, juga diperlukan suatu rekomendasi mengenai apa yang harus dilakukan oleh petani dengan kondisi yang terbaca dari sensor tersebut menggunakan  machine learning dan kecerdasan buatan (AI).

"Rekomendasi ini harus masuk ke telepon genggam petani dan memberikan informasi secara real time ke petani," kata dia.

Bayu mengakui ada tantangan tersendiri saat coba memperkenalkan aplikasi itu kepada para petani, terutama agar aplikasi teknologi itu tak membuat petani kesulitan memahaminya dan menerapkannya.

Awalnya Bayu dan tim menerapkan teknologi ini di Wonogiri, Jawa Tengah, tepatnya di Desa Gemawang, Kecamatan Girimarto.

"Tahun 2010, saat saya ambil S3, saya masih menamakan teknologi tersebut Field Monitoring System (FMS). Setelah sensor terpasang, sensor-sensor di lahan akan mengirimkan data secara real time ke server dan saya bisa mengolah data dan prediksi, kemudian saya akan mengirimkan SMS ke petani, apa yang harus dilakukan oleh petani terkait dengan kondisi di lahan," kata dia.

Ternyata apa yang dilakukan itu berhasil. Buktinya, saat itu para petani di situ mengakui terjadi peningkatan produktifitas hasil panen, dari 8 ton/hektare menjadi 12 ton/hektare. Juga terjadi penghematan pupuk dan air.

Cara mengenalkan ke petani adalah dengan sistem pilot project. Pihaknya memasang teknologi tersebut ke demplot-demplot berukuran 1-2 hektare, kemudian setelah berhasil direplikasi dan scale-up (diperluas jangkauannya).

"Cara itulah yang paling efektif, karena petani agak susah mengikuti metode atau teknologi baru kalau belum terbukti. Setelah terbukti, baru petani akan mengikuti apa yang kami lakukan," katanya.

Kesulitan yang dihadapi Bayu saat menerapkan teknologi ke petani cukup banyak. Yang pasti adalah masalah penerimaan petani terhadap teknologi.

"Usia petani yang rata-rata di atas 50 tahun, kebanyakan tidak tahu dan peduli dengan teknologi, itu menjadi suatu tantangan tersendiri," katanya.

Cara mengatasinya dengan pelibatan anak-anak muda dan karang taruna setempat. Sebagai contoh, apabila Bayu dan tim melakukan sosialisasi terkait dengan teknologi ini, pihaknya mewajibkan petani didampingi anggota keluarganya yang masih muda atau minimal mempunyai smartphone dan mengerti tentang internet.

Karang taruna wajib dilibatkan. Ini juga salah satu upaya untuk merekrut petani-petani muda dan mengubah stigma bahwa petani selalu kotor di sawah dan bersifat konvensional untuk menjadi pertanian yang mandiri dan modern.

Baca:
Cerita Dosen UGM Kembangkan Aplikasi Pemenang Penghargaan di Jerman

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Guru Besar UGM Anjurkan Daun Pegagan untuk Terapi Daya Ingat, Begini Cara Kerjanya

3 jam lalu

Ilustrasi otak. medicalnews.com
Guru Besar UGM Anjurkan Daun Pegagan untuk Terapi Daya Ingat, Begini Cara Kerjanya

Tanaman liar pegagan dianggap bisa membantu terapi daya ingat. Senyawa aktifnya memulihkan fungsi hipokampus, bagian krusial pada otak.


Usai Putusan Sengketa Pilpres, Zainal Arifin Mochtar Sebut MK Punya Banyak PR

5 jam lalu

Pakar hukum sekaligus Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar. Tempo/Pribadi Wicaksono.
Usai Putusan Sengketa Pilpres, Zainal Arifin Mochtar Sebut MK Punya Banyak PR

Pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menilai MK punya banyak pekerjaan rumah alias PR pasca-putusan sengketa pilpres.


UGM Buka Pendaftaran Seleksi Mandiri, Simak Syarat dan Panduan Pendaftaran

12 jam lalu

Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan UGM Djagal Wiseso Marseno meninjau pelaksanaan UTBK Gelombang Pertama di Kampus UGM, Sabtu (13/4/2019). (ANTARA/Luqman Hakim)
UGM Buka Pendaftaran Seleksi Mandiri, Simak Syarat dan Panduan Pendaftaran

Universitas Gajah Mada buka pendaftaran online seleksi mandiri UGM sejak 17 April hingga 7 Mei 2024. Lokasi ujian mandirinya?


Kelola Limbah, Startup asal Bandung dan Bekasi Mendapat Dana di Philanthropy Asia Summit

15 jam lalu

Philanthropy Asia Summit 2024 di Singapura pada 15 April 2024
Kelola Limbah, Startup asal Bandung dan Bekasi Mendapat Dana di Philanthropy Asia Summit

Dua startup asal Indonesia, MYCL dan Sampangan, mendapat pendanaan dari Philanthropy Asia Summit 2024 karena sukses mengelola limbah.


Dosen ITPLN Diduga Plagiat Artikel Ilmiah Milik Dosen di Cambridge, Kampus Lakukan Investigasi

17 jam lalu

Ilustrasi jurnal ilmiah. Shutterstock
Dosen ITPLN Diduga Plagiat Artikel Ilmiah Milik Dosen di Cambridge, Kampus Lakukan Investigasi

Selain investigasi terhadap dosen dan mahasiswa, ITPLN juga membentuk komite agar kasus serupa tak terjadi di kemudian hari.


Cerita Mahasiswa Unas Diminta Cantumkan Nama Dosen di Artikel Ilmiahnya

17 jam lalu

Ilustrasi jurnal ilmiah. Shutterstock
Cerita Mahasiswa Unas Diminta Cantumkan Nama Dosen di Artikel Ilmiahnya

Mahasiswa Unas sebetulnya tidak diwajibkan untuk membuat jurnal.


PT PundiKas Indonesia Bantah Telah Menjebak dan Meneror Nasabah karena Pinjol

18 jam lalu

Ilustrasi: Rio Ari Seno
PT PundiKas Indonesia Bantah Telah Menjebak dan Meneror Nasabah karena Pinjol

PT PundiKas Indonesia, layanan pinjaman dana online atau pinjol, membantah institusinya telah menjebak nasabah dengan mentransfer tanpa persetujuan.


Pakar Hukum UGM Sebut Ada 3 Genre Hakim dalam Putusan MK

19 jam lalu

Dosen dan mahasiswa Fakuktas Hukum UGM Yogyakarta menggelar mimbar
Pakar Hukum UGM Sebut Ada 3 Genre Hakim dalam Putusan MK

Pakar hukum di UGM sebut ada 3 genre hakim dalam memutus perkara. Apa saja?


Pakar Hukum UGM Nilai Ada 3 Kejanggalan Putusan MK soal Sengketa Pilpres

21 jam lalu

Dosen dan mahasiswa Fakuktas Hukum UGM Yogyakarta menggelar mimbar
Pakar Hukum UGM Nilai Ada 3 Kejanggalan Putusan MK soal Sengketa Pilpres

MK sebelumnya telah menolak gugatan sengketa pilpres 2024 yang diajukan kubu Anies dan Ganjar.


WhatsApp Kembangkan Fitur Kelola Jadwal, Tidak Ada Lagi Alasan Lupa

21 jam lalu

Untuk mengunci percakapan pribadi dan bersifat rahasia, Anda bisa menggunakan fitur chat lock WhatsApp. Berikut manfaat dan cara menggunakannya. Foto: Canva
WhatsApp Kembangkan Fitur Kelola Jadwal, Tidak Ada Lagi Alasan Lupa

Fitur terbaru WhatsApp memudahkan pengguna untuk mengatur pengingat jadwal via grup.