TEMPO.CO, Jakarta - Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) melalui kegiatan bertajuk Merajut Indonesia tengah mengembangkan digitalisasi aksara Nusantara.
Menurut Heru Nugroho selaku Wakil Ketua Bidang Pengembangan Usaha, Kerjasama, dan Marketing PANDI, kegiatan itu tidak sekadar memperkenalkan aksara Nusantara secara instan, sebab digitalisasi hanya mengenal algoritma dan tidak mengenal kharisma apalagi filosofi.
Untuk memperkenalkan makna yang terkandung dalam sebuah aksara, PANDI dan pegiat aksara Nusantara sedang merancang Museum Aksara Nusantara. Museum ini nantinya diharapkan akan memberikan banyak informasi perkembangan aksara-aksara di Nusantara, termasuk artefak-artefak yang digunakan dari zaman ke zaman.
“Karena itu, kami mengundang Prof. Manu J. Widyaseputra dan pakar-pakar teknologi informasi supaya memberi wejangan apa yang sebaiknya kami lakukan,” ujar Heru akhir pekan lalu.
Menurut filolog Prof. Manu J. Widyaseputra banyak orang Indonesia tidak tahu peradabannya sendiri. Dalam politik bahasa di Indonesia, bahasa daerah hanya untuk memperkaya bahasa Indonesia. Sementara itu, bahasa Indonesia yang digunakan saat ini bukan berasal bahasa Melayu tingkat tinggi yang dicontohkan oleh para pujangga, melainkan bahasa pasaran.
“Mohon maaf ya, pemerintah tidak memelihara bahasa daerah, sekian banyak orang di Senayan tidak tahu peradabannya sendiri. Padahal, sumber-sumber peradaban tersebut tertuang dalam naskah-naskah yang menggunakan bahasa daerah, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang primitif,” ujar pria yang akrab di sapa Romo Manu pada pertemuan dengan PANDI di Bintaro, Tangerang, Banten.
Kondisi bahasa Indonesia yang “miskin” berdampak pada hasil penerjemahan naskah kuno yang seakan-akan menjadi bahasa “rusak”. Romo Manu memberi contoh beberapa buku hasil terjemahan naskah kuno ke dalam bahasa Indonesia, makna keberadabannya seakan-akan jadi hilang, mirisnya justru terjemahan dalam bahasa Inggris masih lebih baik.
“Naskah-naskah yang ditulis menggunakan Jawa Kuno mengandung banyak sekali informasi, termasuk bidang-bidang teknologi. Kalau kita tidak paham bahasa Sanskerta, tidak paham bahasa Jawa Kuno, jangan harap menemukan makna. Data (tentang naskah) banyak sekali, tapi perhatiannya yang kurang,” kata Romo Manu.
Dalam kesempatan yang sama Prof. Eko Indrajit yang merupakan pakar Teknologi Informatika menuturkan bahwa kecerdasan buatan (AI) memiliki banyak tantangan karena pemrosesan bahasa natural cukup rumit, bukan hanya merepresentasikan bahasa, tetapi juga harus mampu memahami gramatikal dan semantik.
“Setelah menyimak pemaparan Romo Manu, saya jadi berpikir bahasa pada naskah kuno yang disebut primitif itu justru memperlihatkan keadaban. Ini lebih besar (potensi) daripada hanya diterapkan untuk kebutuhan AI,” kata Eko.
Eko mengatakan bahwa Bahasa Sansekerta seharusnya bisa digunakan tidak hanya pada AI, lebih jauh bisa diterapkan menjadi sandi/kode tertentu dalam sebuah negara.
“Bahasa Sansekerta bisa digunakan untuk menciptakan bahasa tingkat tinggi yang efisien dan sistematis, karena bahasa ini kaya akan gramatikal sehingga bisa menjadi jembatan instruksi manusia dengan mesin (komputer),” ungkapnya.
Sementara Adila Alfa Krisnadhi, Dosen Fasilkom Universitas Indonesia, berpendapat bahwa hingga saat ini tidak ada komputer yang cerdas. Adapun kecerdasan itu dibuat oleh manusia itu sendiri.
“Perangkat itu baru bisa mengeluarkan hasil setelah dikasih tahu oleh manusia. Yang terpenting dari AI adalah bagaimana komputer bisa “terus belajar” untuk memperbaiki kesalahan berdasarkan input yang kita diberikan,” tutur Adila.
Heru berharap, kegiatan Merajut Indonesia akan memberi ruang bagi masyarakat untuk mendalami makna dari setiap aksara Nusantara, menelusuri ragam keadaban yang menjadi jati diri bangsa.
Baca:
UNESCO Ajak PANDI Promosikan Digitalisasi Aksara Nusantara di Konferensi Dunia