3. Nepenthes putaiguneung
Nepenthes putaiguneung adalah spesies baru di antara tumbuhan karnivora yang lebih akrab disebut dengan nama kantong semar atau periuk monyet. Indonesia merupakan salah satu gudang pusat keanekaragaman spesies tumbuhan Nepenthes di dunia.
Terdapat sekitar 75 spesies tumbuhan Nepenthes dari seluruh kepulauan Nusantara yang sebagian besar berada di Sumatera. Penelitian Nepenthes baru ini kolaborasi Dee Dee Al Farishy sebagai mahasiswa biologi Universitas Indonesia dengan Destario sebagai salah satu pembimbingnya. Penelitian berlangsung enam tahun sejak 2014.
Spesies terbaru dari kantong semar ini memiliki kantung bawah berukuran tinggi 12-13 cm dan lebar 1,5-2,3 cm dengan bibir peristome merah mengkilap serta berusuk pendek (0,3-0,5 mm). Sedangkan kantung bagian atas lebih ramping berukuran tinggi 8,5-15 cm dan lebar 1,4-2 cm, serta berbibir kehijauan dengan rusuk yang sangat pendek (< 0,3 mm) sehingga tidak nampak jelas.
Nama epithet “putaiguneung” berasal dari bahasa lokal Kerinci, yaitu “putai” (puteri) dan “guneung” (gunung) yang merujuk dari keanggunan sosok spesies dataran tinggi ini, menyerupai puteri gunung.
Spesies baru ini diduga endemik Pulau Sumatera dan memerlukan perlindungan khusus dari perubahan habitat serta ancaman pengkoleksian tak terkendali. Penelitian ini berkolaborasi pula dengan peneliti dari Inggris dan diterbitkan di jurnal internasional Phytotaxa.
4. Dendrobium sagin
Ini adalah anggrek spesies baru berbunga indah dari hutan alami di Papua Barat. Penelitiannya hasil kolaborasi dengan Reza Saputra selaku first author yang juga staf pengendali ekosistem hutan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua Barat, dan pernah menjadi mahasiswa biologi Universitas Indonesia bimbingan Destario.
Spesies baru anggrek D. sagin memiliki bunga putih bersih dengan semburat kekuningan berukuran cukup besar dengan rentang lebar antara 3-4 cm. Bibir bunganya yang kekuningan berbentuk obreniform dengan rambut-rambut tegak di bagian tengah helaian.
Meskipun berbunga indah dan berwarna cerah, sayangnya masa mekar bunga anggrek D. sagin ini tidak bertahan lama, yaitu sekitar 1-2 hari saja.
Nama epithet “sagin” diambil dari bahasa lokal suku Moi di Papua Barat yang memiliki arti “rambut”, merujuk pada tonjolan khas menyerupai rambut di bagian bibir bunga spesies baru ini. Penelitian ini dipublikasikan di jurnal internasional Phytotaxa.