TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Biologi Molekuler dari Universitas Airlangga (Unair), Chairul Anwar Nidom, membeberkan peluang terinfeksi SARS-CoV-2—virus penyebab Covid-19—setalah dua suntikan vaksin.
Nidom mengatakan timnya dari Laboratorium Professor Nidom Foundation (PNF) sedang melakukan pengamatan terhadap orang-orang yang sudah divaksin dua kali dan setelah sebulan dari vaksinasi kedua. “Hasilnya mengejutkan. Kami membaginya menjadi tiga kelompok,” ujar dia saat dihubungi, Selasa, 25 Mei 2021.
Kelompok pertama dengan antibodi dan bisa melindungi atau memberikan proteksi terhadap virus Covid-19. Kelompok kedua, punya antibodi tapi tidak bisa melindungi atau memberikan proteksi terhadap infeksi. Dan ketiga, kelompok yang tidak memiliki antibodi yang otomatis tidak punya daya proteksi. “Itu faktanya,” kata dia.
Namun, Nidom yang juga Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin di PNF menerangkan bahwa riset tersebut belum selesai karena timnya ingin membandingkan antarvaksin dan antar komunitas, sehingga belum bisa dianalisis data detailnya.
Yang jelas, Nidom menambahkan, orang yang sudah disuntik vaksin kemudian terinfeksi kembali, itu bisa terjadi. “Apa lagi dengan banyaknya varian Covid-19 yang ada di Indonesia,” tutur Nidom.
Profesor di Fakultas Kedokteran Hewan Unair itu juga menyarankan bahwa pada prinsipnya pemerintah jangan hanya mengejar jumlah suntikan saja, tapi juga perlu memperhatikan kualitas dari vaksin itu sendiri.
Dia juga menyayangkan imbauan Kementerian Kesehatan yang meminta agar masyarakat tidak menguji titer antibodi dan daya protektivitas setelah divaksin. Seharusnya, ini merupakan tugas dari Kemenkes untuk melihat perkembangan pascavaksinasi.
“Ada masyarakat berinisiatif untuk uji titer antibodi dan daya protektif secara mandiri, tapi tidak dianjurkan. Ada apa ini?” kata Nidom mempertanyakan.
Menurutnya, dampak vaksinasi tidak boleh dianggap remeh. Nidom menganjurkan agar dihentikan sementara atau moratorium kegiatan vaksinasi Covid-19 terhadap masyarakat, sampai kendala persoalan yang timbul setelah vaksinasi ada solusinya.
“Termasuk orang yang divaksin tapi tidak punya antibodi yang protektif. Apakah divaksin ulang atau diganti vaksin atau ditinggalkan program vaksinasinya,” ujar dia.
Pada dasarnya, lulusan dokter hewan IPB University itu meminta agar masyarakat tetap melakukan 5M. “Masker, masker, masker, masker, dan empon-empon atau rempah-rempah,” tutur Nidom, sambil menambahkan bahwa masker adalah cara pengendalian alamiah yang tidak menantang kehidupan virus, tapi dihalangi masuk ke dalam tubuh dan dibiarkan mati di luar tubuh. Jadi mutasi virus diperkecil.
Namun, menurutnya, sebetulnya yang paling utama adalah membenahi pasien-pasien Covid-19 dengan komorbid. Perlu peran aktif masyarakat yang punya komorbid untuk selalu kontrol ke dokter atau fasilitas kesehatan terdekat.
Selain itu, perlu juga adanya national medical records setiap anggota masyarakat. Nidom melihat, karena tidak punya sistem national medical records, membuat Indonesia agak lambat karena tidak ada data pasien yang terinfeksi Covid-19 untuk diketahui komorbidnya. “Kita berharap dengan adanya pandemi ini, semua kekurangan bisa dilengkapi,” ujarnya.
Baca:
Gerhana Bulan Total Super Blood Moon Besok, Ini Saran dari BMKG