TEMPO.CO, Jakarta - Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat menuai pro dan kontra. Pengamat keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, termasuk yang pro aturan yang dibuat Menteri Kominfo itu tapi dengan syarat.
Dia mengatakan setuju dengan isi aturan tersebut, asalkan dilaksanakan dengan transparan. “Kalau tidak, negara akan jadi bulan-bulanan dari raksasa teknologi yang menjalankan aktivitasnya demi profit dan sering bertindak arogan di atas negara,” ujar dia saat dihubungi, Selasa, 25 Mei 2021.
Seperti diketahui, PSE Lingkup Privat mulai berlaku pada Senin, 24 Mei 2021. Kebijakan itu dimaksud untuk mengatur aktivitas perusahaan atau badan yang menggelar layanan digital atau online, seperti Google, Facebook, YouTube, Twitter, TikTok, Gojek, Grab, Tokopedia, Bukalapak, dan sebagainya
Alfons mencontohkan kasus perseteruan Australia dengan Facebook. Media sosial besutan Mark Zuckerberg itu telah mencegah organisasi media massa Australia dan penggunanya untuk bisa berbagi konten berita lagi di platform miliknya.
Langkah Facebook menandai eskalasi ketidaksepahaman yang terjadi antara perusahaan teknologi itu dengan pemerintah negeri kanguru.“Jadi memang harus ada dasar hukum yang kuat bagi pemerintah untuk memantau dan menjalankan tugasnya,” katanya.
Menurut Alfons, peraturan itu bisa menjadi satu dasar yang baik, dengan catatan tidak disalahgunakan untuk kepentingan represif. "Maka harus ada transparansi dalam hal ini," katanya menambahkan.
Berbeda dengan Alfons, Southeast Asia Freedom of Expression Network atau Safenet justru mengkritik berlakunya peraturan yang diteken Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate pada 16 November 2020 itu. Peneliti Safenet, Nenden Sekar Arum, menerangkan aturan itu bisa membahayakan kebebasan media massa.
Dia menyebut pemerintah bisa memutus akses media massa karena pemberitaan yang dibuat. “Dalam konteks media, kewenangan pembatasan ini memungkinkan adanya permohonan pemutusan akses kepada si media itu, misalnya karena pemberitaan yang dihasilkan,” kata Nenden, Senin, 24 Mei 2021.
Nenden mengatakan aturan itu bisa melampaui Undang-Undang yang selama ini mengatur media massa, yaitu Undang-Undang Pers. Dia bilang dalam UU Pers, setiap masalah yang terkait dengan produk jurnalistik seharusnya diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers.
Namun, dengan peraturan baru tersebut pemerintah bisa dengan mudah meminta sebuah media untuk menurunkan beritanya. “Itu skenario terburuk dari implementasi Peraturan Menkominfo ini,” kata dia.
Menurut Nenden, potensi pengekangan terhadap media massa itu muncul dari pasal-pasal karet yang ada di dalam aturan. Ia menemukan ada 65 kata kunci dalam aturan itu yang berhubungan dengan pemutusan akses terhadap sebuah informasi elektronik.
Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pemutusan akses adalah tindakan pemblokiran akses, penutupan akun dan/atau penghapusan konten. Pemutusan akses dilakukan terhadap konten, dokumen atau informasi elektronik yang dilarang.
Sealin itu juga tertulis bahwa informasi atau dokumen elektronik dianggap dilarang apabila melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum; serta informasi yang menyediakan akses terhadap informasi elektronik atau dokumen elektronik yang dilarang.
Nenden mengkhawatirkan implementasi dari pemutusan akses itu. Dia mengatakan penggunaan istilah informasi yang dilarang atau dokumen yang dilarang dapat ditafsirkan secara luas, sehingga berpotensi menjadi pasal karet.
“Saya khawatir peraturan itu dapat digunakan untuk membungkam masyarakat dan media yang kritis terhadap pemerintah,” katanya merujuk kepada aturan Menteri Kominfo soal PSE Lingkup Privat tersebut.
M ROSSENO AJI
Baca juga:
Protes Aktivis Pro Palestina Gergaji Rating Aplikasi Facebook