TEMPO.CO, Bandung - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyadari kemampuan prediksi gempa menjadi kebutuhan banyak orang, terutama di wilayah seperti Indonesia. Lembaga inipun mengaku telah berupaya melayani kebutuhan itu lewat beberapa riset sejak 2011 lalu.
“BMKG banyak (riset) tapi karena hasilnya belum konsisten tidak dipublikasikan,” kata Daryono, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Kamis 3 Juni 2021.
Daryono menegaskan, prediksi gempa harus menggunakan beberapa parameter seperti gas radon, geomagnet, perubahan kecepatan gelombang seismik, juga total electron content. “Sehingga saling mengkonfirmasi, jadi tidak satu parameter pengamatan saja,” ujarnya.
Menurutnya, hingga saat ini belum ada satu pun negara di dunia yang riset gempanya maju dan secara formal dapat mengoperasikan prediksi gempa. Semua riset gempa seperti yang dilakukan BMKG dengan menggunakan gas radon misalnya, hasilnya pun belum konsisten.
“Sehingga BMKG tidak pernah melakukan publikasi prediksi gempa dengan menggunakan radon ini,” kata Daryono.
Dibandingkan dengan gas radon, Daryono menyebut ada studi yang hasilnya sementara ini lebih baik. “Kalau hasil kajian BMKG justru geomagnet hasilnya lebih bagus dari radon,” ujarnya sekalipun teknik ini juga belum dipublikasikan hasilnya.
Sebelumnya diberitakan, Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini Gempa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengaku sukses mendeteksi 3-7 hari sebelum kejadian gempa. Contoh terbaru yang disodorkan adalah gempa di Toli-toli, Sulawesi Tengah, 29 Mei 2021. Gempa berkekuatan Magnitudo 5,3 itu diaku sudah terdeteksi tiga hari sebelumnya.
Ketua tim Sunarno di laman UGM mengatakan alat deteksi gempanya merupakan teknologi triangulasi yang dapat memprediksi episentrum atau titik pusat gempa secara lebih tepat. Alat prediksi gempa UGM itu bekerja dengan mendeteksi perubahan level air tanah dan konsentrasi gas radon.
“Apabila akan terjadi gempa di lempengan Bumi, akan muncul fenomena paparan gas radon alami dari tanah meningkat secara signifikan. Demikian juga permukaan air tanah naik turun secara signifikan,” kata Sunarno, dikutip dari laman UGM.
Komponen lain seperti pengkondisi sinyal, controller dan sumber daya listrik, penyimpan data, dan aplikasi Internet of Thing atau IoT. Mengembangkannya sejak 2018, alat prediksi gempa dari UGM itu disebut telah berhasil memprediksi sederet gempa sejak 2020 yang terjadi mulai dari di Yogya di mana terpasang satu-satunya alat EWS hingga NTT dan Aceh.
Baca juga:
Beredar SMS Peringatan Dini Tsunami 4 Juni 2021, BMKG Minta Masyarakat Tenang