TEMPO.CO, Jakarta - Spesies-spesies yang hidup di alam liar mulai dari bunga bluebell dan kumbang bumblebee sampai macan tutul salju dan penguin kaisar sedang terancam oleh perubahan iklim. Ancaman dari suhu Bumi yang menghangat tak terkecuali tertuju ke satu jenis kopi penghasil citarasa favorit di dunia.
Lembaga konservasi WWF memperingatkan itu dalam laporan terbarunya yang berjudul Feeling The Heat yang dirilis di awal bulan ini, menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada hari ini, 5 Juni 2021. WWF memberi pesan kepada para pemimpin dunia yang akan berhimpun di Konferensi Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, pada November nanti, untuk mengambil langkah nyata sekarang juga.
"Tekan kenaikan suhu global jangan sampai tembus sampai 1,5 derajat Celsius dan membatasi dampak kerusakannya pada alam dan manusia," bunyi seruan WWF dalam laporannya itu.
Dalam Feeling The Heat, WWF melaporkan kalau perubahan iklim telah membuat laut dan daratan bertambah panas. Kejadian-kejadian gelombang panas, banjir, kekeringan dan kebakaran hutan pun meningkat, di mana banyak spesies makhluk hidup tak mampu menghadapinya.
Di Inggris Raya, WWF mencatat, terwelu gunung (satu keluarga dengan kelinci), kumbang besar (bumblebee), dan bunga bluebell sudah terdampak oleh pemanasan global yang terjadi. Di tempat lain adalah penyu belimbing, monyet di Amazon, serta terumbu karang dan kudanil.
"Ini bukan ancaman yang masih nanti-nanti," kata Direktur Eksekutif Sains dan Konservasi WWF, Mike Barrett. Dia menegaskan, dampak dari iklim yang berubah sudah sangat nyata, "Dan kalau kita tidak bertindak sekarang juga untuk menahan pemanasan global menembus 1,5 derajat Celsius, kita mungkin akan tergelincir semakin cepat ke kehancuran."
Saat ini, suhu rata-rata di Bumi sudah satu derajat Celsius di atas suhu saat pra-revolusi industri. Menurut WWF, pemanasan global hingga 1,5 derajat sama saja dengan memberi mantra bencana bagi alam liar--dan manusia yang selama ini bergantung kepada apa yang disediakan alam.
Itu sebabnya WWF memandang rencana dan komitmen iklim yang ada saat ini tidak cukup. Dunia berada pada jalur menuju kenaikan suhu global sampai 2,4 derajat Celsius. Konsekuensi yang harus diambil di jalur itu adalah dampaknya di komunitas dan tanaman pesisir, juga jenis-jenis tanaman dan hewan yang selama ini sudah lebih dulu tertekan oleh aktivitas manusia.
Populasi di habitat liar global telah berkurang rata-rata 68 persen sejak 1970. Laporan WWF menyerukan aksi melindungi dan memulihkan habitat-habitat mulai dari hutan tropis sampai padang lamun, dan mentransformasikan lahan-lahan pertanian dan bagaimana lahan dimanfaatkan.
"Ini akan membantu menyimpan karbon (tak terlepas ke atmosfer), mendorong kehidupan di alam liar dan mendukung komunitas-komunitas mengatasi krisis alam dan iklim."
Laporan itu membawa contoh nasib 12 spesies yang berada dalam risiko besar karena perubahan iklim. Di antaranya adalah jenis burung laut Puffin di Atlantik yang kini harus bertahan dari terpaan badai-badai yang lebih ekstrem, selain juga hewan laut yang menjadi makanannya semakin menipis karena laut yang menghangat.
Pecahan es dan garis salju yang mundur mengungkapkan bahwa Glacier Taku akhirnya menyerah pada perubahan iklim pada gambar satelit yang diambil pada Agustus 2019. (NASA Earth Observatory)
Hamparan bunga bluebell juga terancam semakin jarang dilihat seiring suhu udara yang menghangat, menyebabkan jenis tanaman ini bermekaran tak teratur lagi. Kumbang-kumbang juga kepanasan dan terwelu di pegunungan Skotlandia terdampak periode musim salju yang semakin pendek--membuat mereka rentan ancaman predatornya.
Monyet bajing dan katak Darwin di Amerika Selatan, leopard di pedalaman Himalaya, kudanil, tanaman kopi arabika adalah segelintir contoh spesies lainnya yang juga sudah terdampak.
Khusus terumbu karang tropis disebut sudah sangat parah terdampak oleh kenaikan suhu udara global sebesar 1,5 derajat Celsius. Populasinya dicemaskan akan musnah jika suhu global terus naik sampai 2,0 derajat. Beda lagi dengan kelamnya masa depan koloni-koloni penguin kaisar di Antartika karena lapisan es yang terus berkurang.
"Kalau kita ingin menyelamatkan masa depan sejumlah spesies ikonik itu dan habitat-habitat, dan bahkan masa depan kita juga, maka 2021 ini harus menjadi titik baliknya," kata chief executive WWF, Tanya Steele. "Para pemimpin dunia harus mengambil kesempatan di Konferensi Perubahan Iklim COP26 untuk membangun masa depan yang lebih hijau, lebih bersahabat untuk semua.”
NEW SCIENTIST
Baca juga:
Kebakaran Hutan Ekstrem di Australia, Hampir 3 Miliar Hewan Mati dan Tersingkir