TEMPO.CO, Yogyakarta - Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta akhirnya memberi penjelasaan ihwal hilangnya artikel pemberitaan alat deteksi gempa temuan tim peneliti kampus tersebut dalam laman resminya. Berita yang mengklaim kemampuan prediksi gempa Aceh hingga NTT tiga sampai tujuh hari sebelum kejadiannya itu awalnya tayang dilaman ugm.ac.id pada Rabu 2 Juni 2021.
Seperti diketahui, artikel tersebut kembali memicu kontroversi. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mempertanyakan metode yang digunakan dan akurasi prediksi yang dihasilkan. Pada Minggu 6 Juni 2021, saat Tempo mengunjungi lagi tautan berita tersebut, halaman website itu menunjukkan keterangan kode 404, yang berarti halaman tersebut tidak ditemukan.
Humas UGM menyatakan pemberitaan soal alat deteksi gempa itu sedang diperbaiki dan rencananya akan ditayangkan kembali pada publik pada hari ini, Senin 7 Juni 2021 di website yang sama. "Intinya dari naskah itu sekarang masih ada sedikit revisi," ujar Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM, Iva Ariani, dalam keterangannya Minggu petang 6 Juni 2021.
Revisi yang dimaksud mengenai penjelasan jalur-jalur pemetaan alat deteksi gempa itu. Iva tak memberi keterangan lebih detil tapi diduga merujuk kepada keterangan alat EWS yang baru ditanam di lima titik di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan sebaran itu, maka prediksi gempa yang bisa dianalisa baru sebatas wilayah DIY, belum sampai ke cakupan wilayah Aceh hingga NTT.
Dalam keterangan yang diberikan sebelumnya kepada TEMPO, Ketua Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) Gempa UGM, Profesor Sunarno, menjelaskan yang sama. Wawancara dilakukan Kamis 3 Juni 2021 untuk meminta tanggapannya atas kritik dari BMKG dan tantangan untuk memprediksi gempa besar--bukan yang kecil agar tak dianggap kebetulan.
Tim peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem peringatan dini gempa bumi yang mampu mendeteksi terjadinya gempa bumi 1-3 hari sebelumnya. Kredit: ugm.ac.id
"Alat ini baru kami pasang di wilayah DIY, belum kami pasang di luar itu, jadi pembacaannya terbatas masih wilayah DIY saja," kata Sunarno saat itu. Alat itu sendiri disebut Sunarno dirancang untuk mendeteksi gempa dengan kekuatan minimal 4,5 skala richter alias tidak untuk membaca gempa gempa yang kekuatannya relatif kecil.
Alat yang bekerja dengan menerapkan teknologi triangulasi untuk mengunci lalu mendeteksi kapan dan di mana kejadian gempa bumi bakal terjadi itu idealnya bisa ditanam ke lebih banyak titik. Sehingga semakin banyak terbentuk area-area triangular untuk menangkap gejala potensi gempa dan menunjukkan lokasinya secara presisi.
Ketua Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) Gempa UGM Sunarno dengan alat pendeteksi gempanya. Kredit: Dok istimewa
"Sebenarnya ketika alat itu dipasang kami juga mendapat pembacaan dari luar DIY, namun alat itu hanya menunjukkan gejalanya, belum bisa menunjukkan lokasi pastinya di luar DIY itu di sebelah mana," kata Sunarno merujuk ke kemampuan alat prediksi gempa yang dikembangkannya itu.
Sebagai tambahan dari keterangannya itu, Sunarno juga mengatakan kalau dirinya tidak pernah secara spesifik menyebut kemampuan alatnya memprediksi gempa di Toli-Toli, Sulawesi Tengah, pada akhir Mei lalu. "Karena beda lempengan, tetapi kami mendeteksi semua kejadian 3 hari sebelum kejadian gempa di atas 4,5 SR yg terjadi di lempengan Indo Austrslia (dari Aceh hingga NTT)," katanya dalam pesan yang diterima TEMPO pada Senin pagi, 7 Juni 2021.
Baca juga:
BMKG dan LIPI Kembangkan Riset Prediksi Gempa di Atas 6,5 M
TAMBAHAN:
Artikel ini telah diperbarui pada Senin 7 Juni 2021, pukul 08.25 WIB, dengan menambahkan keterangan dari Sunarno pada pagi ini. Terima kasih.