TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian masyarakat di Indonesia sudah disuntik vaksin Covid-19, ada yang menggunakan vaksin Sinovac, ada juga AstraZeneca. Menurut informasi dari beberapa orang yang sudah disuntik, vaksin AstraZeneca memiliki efek Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) lebih keras daripada Sinovac.
Ahli Patologi Klinis dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Tonang Dwi Aryanto, menjelaskan bahwa dirinya mendapatkan informasi serupa. Mengapa efek dari vaksin AstraZeneca rasanya seperti digebuk orang sekampung, sementara Sinovac ringan saja hanya merasa mengantuk dan lapar?
Pertama, kata dia, respons masing-masing orang terhadap vaksinasi memang berbeda-beda kekuatannya. “Jadi berat ringannya gejala, tidak bisa menjadi ukuran mutlak,” ujar dia kepada Tempo, Kamis, 10 Juni 2021.
Untuk membahas efek KIPI vaksin tersebut, dia menerangkan bahwa beberapa tahun lalu masyarakat mulai mengenal istilah DPT pakai panas dan DPT tanpa panas. Awalnya, ketika anak-anak menjalani vaksinasi DPT (salah satu vaksin dasar dalam program pemerintah), maka sering sekali timbul demam.
Kemudian para orang tua akan dibekali obat paracetamol yang sudah dibuat sebagai puyer. Rata-rata terjadi demam sekitar semalam, besok paginya berangsur-angsur membaik. Anak-anak biasanya rewel semalaman, sebelum paginya mulai tenang. “Tentu kita ada rasa sedih, lelah dan khawatir. Maka ketika ada tawaran DPT tanpa panas, disambut gembira,” tutur Tonang.
Perbedaan kedua produk tersebut adalah cara pembuatannya. DPT pakai panas dibuat dengan komponen sel utuh dari bakteri Bordellia pertussis. Dinding sel bakteri inilah yang memicu demam penerima vaksinasi.
Kemudian dibuat produk sel bakteri, tapi sudah dihilangkan dinding selnya. Maka kejadian panas tidak muncul atau kalaupun muncul, jauh lebih ringan. Disebut sebagai vaksin DaPT (Difteri, Aseluler Pertusis dan Tetanus), teknologi pembuatan DaPT ini lebih kompleks, maka wajar harganya juga lebih tinggi.
Tapi, ada sisi lain, efektivitasnya juga berbeda. Produk pertama (DPT), memberi efek lebih optimal daripada produk kedua (DaPT). Ada anjuran bagi penerima DaPT untuk melakukan vaksin ulangan (booster) beberapa tahun kemudian untuk mempertahankan kekebalan. “Begitulah gambaran mudahnya.”
Dalam hal vaksin Covid-19, produk Sinovac dibuat dari inactivated whole virus—virus utuh yang sudah dimatikan. Dengan kondisi itu, tersisa sifat perangsang imun terutama pada yang paling dominan, yaitu protein S. Dengan kondisi ini, respons imun yang timbul relatif lebih lemah daripada produk AstraZeneca.
Vaksin AstraZeneca dibuat dengan teknologi lebih kompleks. Ada bagian dari virus Covid-19—sebagian kecil saja, dengan membersihkan dulu dari bagian-bagian lain, ditanamkan dalam vektor (virus pembawa). Maka tubuh penerima vaksin harus merespons dua benda asing sekaligus, vaksin yang dibawa dan virus pembawanya.
“Walau virus pembawanya ini bukan yang biasa menginfeksi manusia, tapi adalah benda asing yang harus direspons sistem imun kita,” kata Tonang yang juga seorang epidemiolog.
Dengan metode yang lebih kompleks itu, dia menambahkan, diharapkan efektivitas vaksin lebih tinggi, walau konsekuensinya, respons tubuh cenderung lebih kuat. Akibatnya gejalanya juga lebih terasa.
Tapi sekali lagi, Tonang berujar, tidak juga harus diartikan bahwa kalau tidak ada gejala, berarti responsnya tidak kuat atau bahkan tidak ada. Karena semua kembali kepada kekuatan tubuh masing-masing. “Respons dalam tubuh mungkin kuat, tapi tidak sampai timbul gejala signifikan karena tubuh kita kuat.”
Minimalnya, dosen ilmu patologi klinik di UNS itu berharap bisa lebih menggambarkan mengapa yang menerima AstraZeneca cenderung merasakan efek yang lebih kuat dalam bentuk gejala lebih signifikan daripada produk Sinovac.
Lalu, apakah berarti pasca penerima AstraZeneca mendapatkan kekebalan lebih baik daripada produk Sinovac? Pada klausul DPT dan DaPT, dia kembali menjelaskan, Indonesia sudah berpengalaman bertahun-tahun. Sehingga sudah mencapai efektivitas yang tinggi.
“Sudah banyak data. Sudah banyak pengalaman. Maka lebih mudah kita simpulkan. Pada vaksinasi covid, semua masih baru, belum banyak data, belum banyak pengalaman, maka semua masih dalam fase mengumpulkan data-data,” tutur dia.
Untuk saat ini, menurut Tonang, apapun adanya, sudah mendapat vaksin saja, harusnya bersyukur sambil tetap waspada dan memantau, serta berharap semoga hasilnya sesuai harapan. “Sambil juga menyimak data-data yang terkumpul. Di luar sana, masih jauh lebih banyak lagi yang bahkan belum mendapat kesempatan divaksinasi,” katanya.
Sementara, menurut Guru Besar Biologi Molekuler dari Universitas Airlangga (Unair) Chairul Anwar Nidom, baik AstraZeneca maupun Sinovac, setelah penyuntikan keduanya akan menimbulkan inflamasi, sehingga timbul reaksi demam, bengkak, pusing, dan sebagainya
“Berat dan ringannya efek KIPI sangat tergantung kualitas formulasi dan proses injeksi, kondisi fisik, serta psikis yang divaksin,” tutur profesor di Fakultas Kedokteran Hewan Unair itu.
Selain itu, efek KIPI juga bergantung pada peran adjuvan sebagai salah satu bahan formulasi vaksin. Fungsi adjuvan adalah untuk membantu meningkatkan proses terbentuknya antibodi dalam tubuh. Ada macam-macam adjuvan yang bisa digunakan dengan segala kelemahan dan kelebihannya.
Menurut Nidom, semua vaksin Covid-19 menggunakan adjuvant Aluminium Hidroksida, biasa disingkat dengan Alum. Adjuvan Alum ini merupkan adjuvan klasik, sifatnya murah dan mudah prosesnya. Tetapi bahayanya tidak kecil, nilai ambang penggunaannya kecil, karena sifat Alum ini adalah racun terhadap syaraf (neurotoxic).
Jadi dilema penggunaan Alum ini, Nidom berujar, jika ingin titer antibodi meningkat dengan tujuan mampu membunuh virus, maka Alum bisa ditambah dalam formulasi vaksin. Begitu pula sebaliknya, Alum yang banyak akan nenimbulkan keracunan pada yang divaksin.
“Kita bisa bayangkan jika syaraf keracunan, efeknya bisa kemana-mana tergantung pada bagian mana yang dipengaruhi syaraf yang keracunan tersebut,” kata Nidom.
Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin di Profesor Nidom Foundation itu menerangkan bahwa tingkat toksisitas ini dipengaruhi oleh banyak hal, terutama faktor inang (host), seperti ras, kebiasaan makanan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, dia juga menambahkan bahwa faktor keamanan dari setiap vaksin sangat penting, karena formulasi vaksin biasanya bersifat rahasia. Jika di Indonesia ini tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengawasi dan menentukannya. “Jika masih ada efek berlebihan yang terjadi di lapangan, tentunya BPOM harus menjawab karena mereka yang meloloskan vaksin tersebut,” ujar Nidom.
Baca:
Tim Riset: Imunisasi Vaksin Sinovac Kemungkinan Perlu 3 Kali Suntikan