TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi dilakukan untuk meneliti bagaimana sistem kekebalan tubuh merespons Covid-19 pada 78 petugas kesehatan yang pernah terinfeksi, baik dengan gejala atau tanpa gejala, masing-masing 66 dan 12 pasien. Tambahan 8 pasien yang mengalami penyakit parah dimasukkan untuk perbandingan.
“Hasilnya baik bergejala atau tanpa gejala, sistem kekebalan tubuh tidak serta merta melindungi Anda dari Covid-19 dalam jangka panjang, terutama terhadap varian baru,” tertulis dalam penelitian, seperti dikutip Medicine Xpress, Minggu, 20 Juni 2021.
Studi pracetak ini dipimpin oleh University of Oxford bekerja sama dengan University of Liverpool, Sheffield, Newcastle dan Birmingham dengan dukungan dari Konsorsium Imunologi Coronavirus Inggris. Studi itu berjudul "Protective Immunity from T cells to COVID-19 in Health workers" (PITCH) yang diunggah di Research Square.
Mereka mengambil sampel darah pasien setiap bulan dari 1-6 bulan pascainfeksi untuk memeriksa elemen yang berbeda dari respons imun. Ini termasuk berbagai jenis antibodi—seperti antibodi spesifik Spike dan spesifik Nukleokapsid—yang diproduksi menargetkan berbagai bagian virus, di samping sel B, yang memproduksi antibodi dan menjaga memori tubuh tentang penyakit, serta beberapa jenis sel T.
Laporan pracetak merinci respons imun yang sangat kompleks dan bervariasi setelah infeksi Covid-19. Mereka menggunakan pendekatan pembelajaran mesin baru bernama SIMON, untuk mengidentifikasi pola rinci dalam data dan melihat apakah tingkat keparahan penyakit awal dan respons imun awal dapat memprediksi kekebalan jangka panjang.
Mereka menemukan tanda kekebalan awal terdeteksi satu bulan pascainfeksi dan terkait dengan imunitas seluler serta antibodi, yang memprediksi kekuatan respons imun yang diukur pada 6 bulan pasca infeksi. Ini adalah pertama kalinya tanda semacam itu ditemukan dan meningkatkan pemahaman tentang perkembangan kekebalan yang bertahan lama.
Ketika sampel serum (mengandung antibodi) yang diperoleh pascainfeksi diuji, sebagian besar sampel yang menghasilkan tanda respons imun lemah gagal menunjukkan antibodi penetralisir terhadap varian Alpha—pertama kali diidentifikasi di Inggirs—serta tak ada yang memasang respons antibodi penetralisir terhadap varian Beta, varian dari Afrika Selatan.
Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa memori imun dari individu-individu ini tidak memberikan perlindungan yang cukup untuk mencegah infeksi ulang oleh varian-varian itu.
Sementara sebagian besar orang yang memiliki gejala penyakit memiliki respons imun yang terukur pada enam bulan pasca infeksi, sebagian kecil (26 persen) tidak. Sebagian besar orang yang mengalami penyakit tanpa gejala (92 persen) tidak menunjukkan respons imun yang terukur pada enam bulan pasca infeksi.
Menurut penelitian, hal itu menyiratkan bahwa orang yang sebelumnya telah terinfeksi Covid-19 tidak boleh berasumsi bahwa mereka secara otomatis terlindungi dari infeksi ulang. “Dan menyoroti pentingnya setiap orang mendapatkan vaksinasi Covid-19 ketika mereka ditawarkan.”
Menteri Kesehatan Inggris, Lord Bethell, menjelaskan studi yang kuat ini membahas misteri kekebalan dan pelajarannya yang sangat jelas. Masyarakat memerlukan dua suntikan untuk melindungi diri sendiri dan orang yang dicintai.
“Saya meminta siapapun yang diundang untuk divaksinasi, melangkah maju dan menyelesaikan pekerjaan. Jadi kita semua bisa keluar dari pandemi ini,” tutur Bethell.
Studi PITCH telah menemukan, pertama memori kekebalan setelah infeksi Covid-19 dapat diukur pada 6 bulan tetapi sangat bervariasi di antara orang-orang. Infeksi sebelumnya tidak selalu melindungi dalam jangka panjang dari SARS-CoV-2, terutama varian Alpha dan Beta.
Individu yang menunjukkan sedikit atau tidak ada bukti memori kekebalan terhadap Covid-19 pada 6 bulan pasca infeksi tidak dapat menetralkan varian kekhawatiran. Kedua, ahli menggunakan karakteristik respons imun pada satu bulan pascainfeksi untuk memprediksi orang mana yang akan memiliki respons imun yang tahan lama pada enam bulan.
Ketiga, orang dengan gejala Covid-19 memiliki respons imun yang bervariasi yang dapat menurun seiring waktu dan tidak selalu terlindungi dari varian SARS-CoV-2. Keempat, orang yang mengalami infeksi tanpa gejala cenderung memiliki respons imun yang lebih rendah di banyak parameter imun yang telah diukur.
Memahami kekuatan dan daya tahan respons imun terhadap infeksi alami tetap sangat relevan karena akan membantu mengurangi infeksi ulang, lebih memahami respons imun terhadap vaksinasi, dan mengatasi varian baru. Penelitian lebih lanjut akan terus memperdalam pemahaman tentang respons kekebalan dalam jangka panjang dan perlindungan terhadap Covid-19 di dunia nyata.
Studi ini memperkuat betapa pentingnya setiap orang mendapatkan vaksinasi ketika ditawarkan. Vaksin Covid-19 menghasilkan respons kekebalan yang lebih tinggi daripada infeksi alami, menggarisbawahi perlunya setiap orang untuk mendapatkan vaksinasi untuk perlindungan maksimal terhadap penyakit ini.
MEDICAL XPRESS | RESEARCH SQUARE
Baca:
Tim Peneliti Klaim Vaksin Nusantara Diminati di Negara Lain