TEMPO.CO, Bandung - Tim dari pusat riset Advanced Intelligent Communications (AICOMS) Telkom University membuat Mobile Cognitive Radio Base Station (MCRBS). Stasiun bergerak yang bisa diangkut mobil bak terbuka itu berfungsi seperti Base Transceiver Station (BTS) operator telekomunikasi seluler.
“Kami intinya membuat base station yang bergerak dan bisa menangkap seluruh jaringan komunikasi plus WiFi untuk tablet yang tidak berkartu,” kata Khoirul Anwar, pimpinan AICOMS, Selasa 22 Juni 2021.
Perangkat itu dikondisikan pada lokasi bencana yang ikut memutus akses telekomunikasi dan listrik, seperti banjir, longsor, gempa bumi, dan tsunami.
Asumsinya semua BTS di sekitar lokasi bencana itu mati, meskipun masih ada baterai karena nihil pasokan listrik. Pada situasi darurat seperti itu untuk evakuasi korban juga koordinasi regu penolong, MCRBS bisa dikerahkan.
Mekanisme kerjanya, korban bencana atau regu penolong menghubungi nomor darurat kemudian akan diterima MCRBS. “Alat ini akan melakukan pemindaian (scanning) ke seluruh frekuensi dari 2G sampai 5G untuk membantu evakuasi korban,” katanya.
Panggilan itu selanjutnya diteruskan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Kini tim masih mengembangkan perangkat serupa untuk melacak keberadaan lokasi korban. Alatnya dirancang untuk bisa masuk ke dalam ransel petugas pencari korban bencana.
Stasiun sinyal MCRBS yang bergerak ini, kata Khoirul, menaranya berukuran seluas 1 meter persegi setinggi 2 meter, dengan bahan besi dan berbobot berkisar 7-10 kilogram. Adapun area jangkauan sinyalnya dalam radius 1 kilometer. Daya listriknya dimulai dari 40 watt kemudian turun sekitar 20 watt ketika terus dipakai. Mengantisipasi ketiadaan setrum, sumber listriknya bisa dari generator, aki, atau panel tenaga surya.
Sementara ini untuk uji coba alat, tim menggunakan kartu SIM (Subscriber Identification Module) khusus buatan sendiri. “Nantinya perlu kerja sama dengan operator seluler sehingga tidak perlu kartu SIM khusus,” ujarnya.
Menurut Khoirul, ide perangkat telekomunikasi itu muncul sejak 2015 ketika menjadi dosen di Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST). Pembuatannya baru dirintis pada 2019 hingga purwarupanya rampung pada Maret 2020.
Alat dan sistem itu telah dipasang di sebuah kota di Sumatera dipadukan dengan informasi banjir, longsor, gempa, dan tsunami. Permintaan pemasangan lainnya di sebuah universitas swasta di Papua.
Tim riset Telkom University telah menggandeng mitra produsen, yaitu PT Fusi Global Teknologi. Harga per unit BTS dengan fitur lengkap berkisar Rp 500 juta. Adapun tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sejauh ini 60 persen. Tim menargetkan bisa sampai 80 persen.
Baca:
Rilis Kamis, Windows 11 Bakal Hadir dengan Pembaruan Fitur Multi-Monitor