TEMPO.CO, Yogyakarta - Alat skrining kasus positif Covid-19 dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, GeNose C19, hingga akhir Juni ini telah secara bertahap merampungkan uji validitas eksternal. Uji yang dimulai April lalu ini melibatkan penguji independen dari tiga kampus, yakni Universitas Andalas, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Airlangga (Unair).
"Saat ini baru ethical clearance untuk GeNose dari kampus UI dan Unair yang sudah ke luar," kata juru bicara GeNose C19, Mohamad Saifudin Hakim, Rabu 23 Juni 2021.
Ethical clearance atau persetujuan etik bertujuan untuk memastikan penelitian GeNose C19 bekerja sesuai kaidah ilmiah. Seluruh penelitian yang menggunakan manusia sebagai subyek penelitian harus mendapatkan persetujuan ini dalam bentuk Keterangan Lolos Kaji Etik.
Sedangkan uji validitas eksternal, Hakim menerangkan, merupakan bagian dari post-marketing analysis, yakni ketika GeNose C19 dari UGM sudah digunakan oleh masyarakat umum. Uji validitas eksternal bertujuan untuk menambah data dan memperkuat kerja artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang ditanam di alat itu.
“Selain itu, uji validitas eksternal merupakan bagian dari continues improvement serta kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku, setelah alat kesehatan mendapat izin edar untuk penggunaan,” kata Hakim.
Hakim merinci, uji validitas eksternal GeNose telah dimulai sejak April di Universitas Andalas. Selanjutnya, Rumah Sakit UI menyusul memulai tahap uji tersebut pada Juni ini. Lalu, Unair dan RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) baru akan mulai uji validitas eksternal GeNose C19 pada akhir bulan ini.
Periode uji validitas 4-6 enam bulan, tergantung perjanjian dengan masing-masing institusi tersebut. “Hasil uji validitas belum ke luar semua, karena tahapan prosesnya masih berjalan,” kata Hakim.
GeNose C19, alat screening kasus positif Covid-19 berbasis embusan napas, hingga kini telah digunakan di 65 stasiun Kereta Api Indonesia (KAI) sejak Februari 2021. Tergolong alat elektromedis non invasif, GeNose C19 telah mengantongi izin edar dari Kementerian Kesehatan per akhir Desember 2020.
Hakim mengajak para pengguna dan operator GeNose C19 untuk menjaga performa alat ini agar hasilnya akurat. Sebab, jika GeNose C19 dioperasikan ketika kondisi lingkungannya belum ideal dan syarat belum terpenuhi, maka hasil tes bisa menunjukkan ‘low signal’ atau memunculkan hasil positif maupun negatif palsu.
Calon penumpang meniupkan nafas ke dalam kantong untuk dites menggunakan alat GeNose C19 di Terminal Type A Alang Alang Lebar, Palembang, Sumatera Selatan, Senin, 14 April 2021. Simulasi tersebut dilakukan sebagai tahap persiapan pelayanan GeNose C-19 di Terminal tersebut. ANTARA/Nova Wahyudi
Dia mencontohkan yang perlu diperhatikan adalah lokasi penempatan alat. GeNose C19 harus diletakkan di ruangan yang memiliki saturasi udara satu arah.
GeNose C19 juga sudah memiliki fitur analisis lingkungan yang otomatis mengevaluasi saturasi partikel di sekelilingnya. Operator hanya perlu melakukan mode flushing untuk memeriksa udara atau lingkungan di sekitar alat selama 30 hingga 60 menit sebelum menjalankan alat.
Alat GeNose UGM saat ditunjukkan menganalisa sampel embusan napas milik seseorang apakah terinfeksi Covid-19 atau tidak. Tempo/Pribadi Wicaksono
Software GeNose C19 akan memberi tanda pada layar monitor laptop bahwa lingkungan sudah Oke atau Belum. Tanda warna hijau dan tulisan “GO” artinya sudah Oke, sedangkan warna kuning atau merah dengan tanda seru berarti belum Oke untuk mengoperasikan GeNose C19.
“Jika memaksa GeNose C19 beroperasi ketika kondisi lingkungannya belum Oke, maka hasil tes bisa tidak tepat," kata dia.
Tes GeNose C19 juga juga diterapkan di lembaga pendidikan. Salah satunya di Yayasan Ali Maksum, Pondok Pesantren Krapyak, Sewon, Bantul serta sejumlah tempat ibadah di Yogyakarta.
Baca juga:
Peneliti GeNose UGM Bicara Pengembangan Alat dan Perawatan Akurasi