TEMPO.CO, Bandung - Rudy Setyo Purnomo, 69 tahun, kembali ke kampus yang menjadi almamaternya, Institut Teknologi Bandung (ITB). Kembali ke bangku kuliah, Rudy terdaftar sebagai mahasiswa doktoral di Program Studi Sains Management, Sekolah Bisnis dan Manajemen. Dia pun tercatat sebagai mahasiswa baru tertua di kampusnya tersebut.
“Saya tidak mencari titel tapi mau berbagi ilmu,” katanya kepada TEMPO, Senin, 16 Agustus 2021.
Menurutnya, selama bekerja puluhan tahun, dia menemukan pengalaman yang sangat berharga untuk disumbangkan ke bangsa. “Yaitu membuat perusahaan yang bangkrut jadi hidup lagi dengan kuat,” ujarnya.
Metode manajemen temuannya itu dinamakan EBITDA Daily Control. Cara itu mengendalikan setiap hari EBITDA, singkatan dari Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization yang fungsinya untuk melihat kondisi keuangan perusahaan.
Beberapa pengalamannya, kata Rudy, seperti membantu perusahaan yang rugi Rp 2 miliar sehari, kemudian diperbaiki dalam 4 bulan menjadi untung Rp 500 juta sehari. Lalu, perusahaan penerbangan yang rugi Rp 1,8 miliar sehari, setelah diperbaiki dalam 6 bulan jadi untung Rp 1,8 miliar sehari.
“Saya sudah bantu puluhan perusahaan, (metodenya) diterapkan dan jadi untung,” kata Rudy.
Prinsip dasar metode itu, kata Rudy, adalah menghitung semua biaya aktivitas (activity based costing). Misalnya untuk berjualan pisang goreng, dicatat proses bisnisnya dari mulai beli pisang, mengupasnya, sampai menggoreng. Dalam matriks, semua aktivitas bisnis itu ditempatkan pada sumbu horisontal.
“Di sumbu vertikal biayanya, diurai, dan bikin target, setiap pelaku harus mengefisienkan bisnis prosesnya,” ujar Rudy menuturkan.
Cara itu menurutnya bisa diterapkan oleh pengusaha kecil mikro dan menengah hingga perusahaan besar. Walaupun banyak manfaatnya, kata Rudy, selama ini belum banyak yang menggunakan metodenya.
“Kalau saya hanya mengajar sebagai konsultan saja, metode ini kurang cepat menyebarnya,” kata dia.
Rudy ingin banyak orang dengan mudah menggunakannya. Cara terbaik menurutnya menjadikan metode itu sebagai ilmu. Dari praktik ke teori, metode itu secara ilmiah harus dibuktikan dengan riset dan validasi.
“Satu-satunya jalan yang paling baik yaitu ikut program doktor,” katanya lagi.
Setelah lulus sebagai sarjana dari Teknik Mesin ITB, Rudy mengambil tiga program master dari Universitas Indonesia, Harvard University, juga Massachusetts Institute of Technology (M.I.T.). Sejak 1977 hingga 1995 dia bekerja di PT Garuda Indonesia, lalu pernah di Susi Air dan Merpati Nusantara Airlines. Selain itu dia mendirikan beberapa perusahaan seperti PT. Equiti Manajemen Teknologi.
Dia mengaku telah siap mengikuti perkuliahan seperti mahasiswa doktoral lain di kelasnya dan tidak mendapat perlakuan khusus dari ITB. Targetnya, sebelum tiga tahun sudah bisa lulus. Sambil bekerja, Rudy menyiapkan riset ilmiah untuk disertasinya dari pengalamannya bekerja.
Baca juga:
Mahasiswa Matematika ITB Usia 18 Tahun Menjadi Wisudawan Termuda