TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko, membeberkan beberapa masalah dalam pengembangan vaksin Covid-19 Merah Putih. Masalah tersebut di antaranya belum pernah ada tim pengembangan vaksin, alat produksi, dan fasilitas pengujian.
Menurut Handoko, pihaknya sudah melakukan evaluasi mendalam dan mendetail sejak Mei, dan baru menyadari bahwa masalah pertama sebenarnya belum pernah ada tim di Indonesia yang membuat vaksin dari sketch. Sehingga, kata dia, belum ada skill (keahlian) dan jam terbang.
“Apakah itu salah? Tentu tidak, justru pandemi Covid-19 ini kita jadikan pembelajaran bahwa kita akan masuk ke situ, pengembangan vaksin,” ujar dia dalam acara Webinar Kemerdekaan Riset untuk Merah Putih, Rabu, 18 Agustus 2021.
Masalah kedua adalah Indonesia perlu menyediakan mini Good Manufacturing Processes (GMP) untuk produksi terbatas yang terstandar, yang kemudian untuk diuji, baik praklinis maupun klinis. Handoko menjelaskan bahwa untuk melakukan uji obat, vaksin, imunomodulator, dan lainnya produk harus terstandar. “Nah, tapi alatnya itu tidak ada,” katanya lagi.
Mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu melanjutkan, sebenarnya industri farmasi sudah memilikinya yang bisa dimanfaatkan untuk dua platform, inactivated dan protein rekombinan. Namun, tidak mungkin meminta pihak Bio Farma untuk meminjamkannya, karena bisa mengganggu proses produksi yang ada di sana.
Karena alat produksi GMP harus tersertifikasi terstandar, artinya jika alat di Bio Farma digunakan dan dipinjamkan untuk vaksin Merah Putih, itu harus dibersihkan, processing, re-processing, kemudian disertifikasi ulang untuk produk vaksin.
“Itu bisa tiga-empat bulan waktunya, sehingga praktis kalau mengokupasi tiga-empat bulan jalur produksi Bio Farma tentu masalahnya akan lebih besar,” tutur dia.
Masalah ketiga terkait dengan fasilitas pengujiannya. Handoko yang merupakan pakar fisika lulusan Hiroshima University itu menjelaskan, Indonesia sebenarnya sudah memiliki animal BSL 3 yang terbesar di Cibinong, Jawa Barat. Namun, itu hanya bisa digunakan untuk pengujian dengan tujuan melihat efikasinya.
Sementara, perlu juga dilakukan pengujian di level primata atau macaca untuk melihat bagaimana keamanannya. “Yang macaca ini ya problem karena kan besar, animal BSL 3-nya harus jauh lebih besar, dan ternyata kita baru tahu belum ada animal BSL 3 yang siap untuk primata di negara kita,” ujar dia.
Handoko juga menambahkan bahwa tiga masalah tersebut menjadi fokus BRIN karena yang melakukan inovasi itu adalah periset bukan manajemen, sementara industri akan masuk jika risiko yang tinggi diminimalisir. “Hal inilah yang menjadi fokus kita bersama dan saya yakin ini akan didukung pemerintah, karena kalau tidak, kita tidak bisa menyelesaikan problem fundamental.”
Baca:
Eijkman: Vaksin Merah Putih Akan Diuji ke Virus Varian Delta