TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT telah merdeka dari kebutuhan impor bahan semai flare untuk misi modifikasi cuaca atau menurunkan hujan buatan. Modifikasi cuaca menggunakan flare dianggap lebih efektif dan efisien daripada cara konvensional menebar garam halus, tapi selama ini kebutuhan untuk bahan semainya itu harus dipenuhi secara impor.
Baru pada misi menambah tinggi muka air Danau Toba pada April lalu, bahan semai Flare CoSAT (Cloud Seeding Agent Tube) 1000 produksi PT Pindad digunakan secara resmi. Flare CoSAT 1000 menggantikan bahan semai yang selama ini dibeli dari Amerika.
“Operasi modifikasi cuaca untuk menambah tinggi muka air Danau Toba tersebut sekaligus menjadi tonggak sejarah terlepasnya Indonesia dari ketergantungan impor flare dari negara asing,” ujar Samsul Bahri, Perekayasa Ahli Utama, Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca – BPPT dalam keterangan tertulis usai Webinar Potensi Pemanfaatan TMC Berbasis Flare di Jakarta, Jumat 20 Agustus 2021.
Flare adalah bahan semai yang bersifat higroskopis (menyerap air) terbuat dari NaCl dan CaCl2. Keduanya akan dibakar dan menghasilkan partikel seperti asap yang ringan dan mudah menyebar, menghantarkan material higroskopis ke seluruh bagian awan yang paling efektif untuk dijadikan hujan.
“TMC berbasis flare adalah teknik penyemaian awan di mana pelepasan partikel kimia ke dalam awan dilakukan dengan cara suar atau flare,” kata Samsul.
Dengan flare, Samsul menerangkan, waktu loading hingga bahan semai siap diterbangkan pesawat menjadi lebih ringkas. Ini, kata dia, memaksimalkan mendapatkan window opportunity untuk menyemai tepat di periode waktu tumbuh awan. “Sehingga lebih efektif dan efisien, serta mendukung keberhasilan TMC yang tinggi,” ujarnya.
Samsul menambahkan, BPPT dan PT. Pindad sebenarnya sudah sejak 2010 berhasil memproduksi flare dalam negeri. Namun, sertifikasi kelaikan baru dikeluarkan November 2020. Terbukti, saat digunakan, CoSAT 1000 sangat praktis, cepat dan mudah dalam operasionalnya.
Pesawat bersiap untuk misi modifikasi cuaca yang menggunakan bahan semai dari flare. Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca, BPPT, menyatakan kini sudah tak tergantung flare impor, tepatnya sejak operasi hujan buatan menambah muka air Danau Toba, April 2021. BBTMC-BPPT.
“Partikel CCN yang dihasilkan Flare/CoSAT 1000 sangat halus, sekitar 0,7–3,3 mikron, dan tidak terjadi penggumpalan bahan semai,” ujarnya.
Kepala BBTMC-BPPT Jon Arifian menuturkan, teknologi modifikasi cuaca berbasis flare sudah mulai diuji coba di Indonesia sejak 1999 lalu. Saat itu misi bertujuan mengisi DAS Larona (Danau Matano, Mahalona dan Towuti) di Sulawesi Selatan. Misi hujan buatan sekaligus uji coba flare melibatkan PT.Inco, Tbk. sebagai perusahaan yang memanfaatkan DAS Larona saat itu.