TEMPO.CO, Jakarta - Menekuni keanekaragaman berbagai jenis biota laut dengan mempelajari taksonomi dan morfologi krustasea sejak 1986, khususnya kelomang dan kepiting, peneliti bidang oseanografi di Balai Bio Industri Laut LIPI, Dwi Listyo Rahayu, dianugerahi LIPI Sarwono Award XIX.
Wanita yang biasa disapa Yoyoh ini merupakan profesor taksonomi, bidang penelitian yang tergolong jarang. “Jumlah taksonom di dunia tidak banyak,” ujar dia dalam acara penganugerahan yang digelar virtual, Senin, 23 Agustus 2021.
Oleh karena itu, Yoyoh melanjutkan, ketika seorang taksonom mempublikasikan hasil risetnya di jurnal internasional, maka undangan untuk berpartisipasi dalam penelitian dan ekspedisi internasional akan banyak diterima. Penelitian itu umumnya ditujukan untuk mengamati biota laut yang tersimpan dalam Museum Natural Histori dari negara pengundang.
Pada umumnya penelitian taksonomi sistematik memerlukan waktu penyelesaian yang cukup lama, karena dimulai dengan pengumpulan biota, pengenalan awal, membandingkan dengan biota yang berkerabat dekat, deskripsi dan penyusunan naskah untuk mengirimkan ke jurnal ilmiah untuk publikasi.
Menurutnya, penelitian taksonomi sistematik ini tidak hanya mengidentifikasi biota, memberi nama, dan mengklasifikasikannya, tapi juga harus memperhatikan tempat, cara, dan kebiasaan hidupnya. “Sehingga kita bisa mengetahui perannya dalam ekosistem, dan kegunaan untuk kehidupan manusia,” katanya.
Peraih gelar sarjana di Fakultas Perikanan IPB University itu menambahkan, taksonomi morfologi merupakan ilmu dasar biologi yang dianggap klasik, sehingga para penelitinya umumnya sudah senior.
Namun, dengan kemajuan ilmu pengetahuan saat ini, dukungan biologi molekuler juga diperlukan dalam penelitian taksonomi morfologi. Demikian juga sebaliknya, peneliti taksonomi molekuler perlu memiliki pengetahuan taksonomi morfologi.
“Karena ketika melihat atau meneliti suatu biota laut, yang pertama kali dilihat adalah bentuknya, kemudian cirinya untuk bisa mengidentifikasi lebih akurat. Untuk itu kerja sama peneliti taksonomi morfologi dan molekuler perlu didorong,” tutur dia.
Yoyoh memilih fokus pada krustasea karena merupakan kelompok biota laut yang paling dominan kedua setelah moluska. Keanekaragaman jenis biota laut di Indonesia sangat tinggi, baik di pesisir maupun laut dalam, sehingga pengungkapan jenis krustasea memerlukan dukungan pengetahuan dan penelitian taksonomi yang sistematik.
Dalam melakukan pekerjaan sebagai taksonom, dia mengaku sangat beruntung karena dapat mengamati berbagai bentuk, corak, dan warna dari bagian tubuh biota yang diteliti. “Saya tidak mengira bahwa bentuk, corak, dan warna dapat sedemikian beragamnya. Saya sangat bersyukur dapat menikmati kebesaran daripada ciptaan Allah,” tutur dia.
Peraih gelar master sekaligus doktor di Université Pierre & Marie Curie, Perancis, itu mengutip perkataan Edward Osborne Wilson, seorang sosiobiologi yang terjemahan bebasnya menyebutkan: “Setiap spesies adalah sebuah karya yang beradaptasi dengan sempurna pada lingkungan tempat hidupnya, jadi janganlah kita merusak lingkungan sehingga akan dapat menurunkan keragaman jenis biota yang ada.”
Oleh karena itu, Yoyoh mengajak semua orang untuk menjaga lingkungan sesuai kemampuannya masing-masing. “Sehingga keberlanjutan sumber daya laut sebagai sumber kehidupan di masa mendatang tetap terjaga,” katanya lagi.
Selama karirnya, Yoyoh berhasil mendeskripsikan 150 spesies baru, yaitu kelomang (hermit crab) 4 genus, dan 74 spesies kepiting (crab) 6 genus, dan 76 spesies baru. Dia juga telah menerbitkan 93 publikasi ilmiah, dan pernah terlibat dalam beberapa ekspedisi internasional.
Baca:
Dua Profesor Bidang Biologi Dianugerahi LIPI Sarwono Award XIX